Adanya pemilu serentak pada tahun 2019 merupakan salah satu terobosan hukum baru, aturan pemilu serentak ini muncul setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi Gazali. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan: Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14Ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional). Dari rangkaian ketentuan yang dinyatakan kehilangan validitas konstitusional tersebut, MK menegaskan, pemilihan umum presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan serentak dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dengan putusan ini, ketentuan bahwa Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (pemilu presiden) dilaksanakan setelahPemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu legislatif) adalah inkonstitusional, dalam diktum kedua dari amar putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa putusan pemilu serentak akan diterapkan pada pemilu tahun 2019 mendatang dan seterusnya. Dengan diadakanya pemilu serentak ini tentu tidak menutup kemungkinan akan terjadi sengketa hasil pemilu yang lebih besar, selama ini yang berwenang memutus sengketa hasil pemilu adalah Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan penyelesaian sengketa pemilu diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada pasal 24C ayat (1) dikatakan bahwa : ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.Kemudian pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih rinci diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kemudian sifat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perselisihan Hasil Pemilihan Umum diatur dalam UU No. 8 Tahun 2011 pada pasal 79 ayat (3) yang mengatakan :“Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan Mengikat”
Dalam proses penyelesaian sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, dalam waktu selama 14 hari mahkamah konstitusi harus memberikan putusan terhadap perkara sengketa hasil pemilu yang diajukan oleh penggugat, padahal selama ini Mahkamah Konstitusi paling efektif untuk bersidang hanya selama 7 hari, hal ini tentu menimbulkan problematika ketika Mahkamah Konstitusi harus menyelesaikan sengketa hasil pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019, hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi gugatan sengketa hasil pemilu yang cukup besar. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah dalam waktu 14 hari dan dengan 9 hakim Mahkamah Konstitusi dapat menyelesaikan sengketa hasil pemilu yang cukup besar?, dalam hal ini penulis menawarkan adanya harmonisasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang pemilian umum anggota DPR, DPRD dan DPD, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur Living Constitution, dan agar penyelesaian sengketa hasil pemilu tahun 2019 di Mahkamah Kosntitusi ideal maka perlu penambahan waktu sidang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H