Mohon tunggu...
Arifin Muhammad Ade
Arifin Muhammad Ade Mohon Tunggu... Buruh - Pemerhati Lingkungan

"Aku tidak punya cukup uang untuk mengelilingi dunia, tapi dengan buku aku dapat mengenal dunia"

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ekofeminisme: Memahami Alam dan Perempuan

22 Februari 2020   15:53 Diperbarui: 22 Februari 2020   15:55 3130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bumi adalah manusia,
batunya sebagai tulang,
tanah sebagai daging,
airnya sebagai darah, dan
hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut"
(Mama Aleta, Aktivis Perempuan dan Lingkungan NTT).

Istilah ekofeminisme pertama kali digunakan oleh Francoise D'Eaubonne pada tahun 1974 melalui karyanya "Le Feminisme ou la Mort" (Feminisme atau Kematian), selanjutnya pada tahun 1987 istilah tersebut kembali dipopulerkan oleh Karen J. Warren melalui "Feminism and Ecology: Making Connection" yang berusaha untuk menunjukan hubungan antara semua bentuk penindasan manusia, khususnya antara perempuan dan alam.

Namun, Maria Mies dan Vandana Shiva (1998) yang berhasil melakukan rekonstruksi pandangan ini. Mereka mengawinkan antara prinsip ekologi dan feminisme dalam melawan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Paradigma yang dipakai dan menjadi dasar perjuangan ekofeminisme adalah pandangan dan ideologi yang ramah sesama manusia dan lingkungan.

Menurut Rosemarie P. Tong (2006) dalam Ekofeminisme: Kritik Sastra Berwawasan Ekologi dan Feminisme menyebutkan, ekofeminisme memandang bahwa perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam. Ada hubungan konseptual, simbolik dan linguistik antara feminisme dan isu ekologi. Dalam paradigma ini, alam berada dalam prinsip feminin.

Harmoni antara alam dan manusia mendorong terjadinya kesinambungan ontologis antara manusia dan alam. Pada tataran prinsip feminin, alam dipersepsikan dan dimaknai sebagai sumber penghidupan. Dan perempuan, dalam imajinasi dan praktiknya secara khusus memiliki keahlian dalam mengelola alam sebagai penopang dalam keberlangsungan hidup.

Perempuan dianggap sebagai pemelihara kehidupan, yang memiliki kemampuan dalam memproduksi dan mereproduksi kehidupan. Pada kemampuan kaum perempuanlah prinsip lestari dan keberlanjutan bisa diwujudkan. Kaum perempuan memainkan peran paling sentral dan signifikan dalam usahanya menjaga keberlanjutan dan keahliannya sebagai penyedia sumber pangan.

Maria Mies (1986) dalam buku Bebas Dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India menyebutkan bahwa kegiatan perempuan dalam menyediakan pangan sebagai produksi kehidupan dan memandangnya sebagai hubungan yang benar-benar produktif dengan alam, karena perempuan tidak hanya mengumpulkan dan mengonsumsi apa yang tumbuh di alam, tetapi mereka membuat segala sesuatu menjadi tumbuh. Proses pertumbuhan secara organis, yang di dalamnya perempuan dan alam bekerja sama sebagai mitra, telah menciptakan suatu hubungan khusus antara perempuan dan alam.

Namun, pada saat ini perempuan kehilangan peran produktifnya.  Kehidupan kaum perempuan telah tercerabut dari akar filosofisnya sebagai penyangga kehidupan. Ia digantikan tenaga mesin yang dalam kelipatannya mampu memproduksi komoditas sebanyak mungkin untuk meningkatkan nilai tambah dari kerja produksi. Di samping itu secara sosial, kaum perempuan dan masyarakat lokal mengalami demoralisasi melalui kebijakan dan investasi yang diciptakan oleh negara.

Hal demikian tak lain dan tak bukan karena paradigma pembangunan yang sama sekali tidak sensitif ekologi bahkan kerap dijumpai bias gender. Perempuan selalu ditempatkan sebagai pihak yang tidak berdaya dan tidak punya pengetahuan. Sehingga perempuan tidak dilibatkan dalam proses pegambilan keputusan dalam hampir semua pengambilan kebijakan pembangunan. Pengetahuan perempuan tentang tubuhnya, tentang relasi tubuh perempuan dengan kekayaan alam, serta pengetahuan perempuan, baik individu maupun kolektif tidak masuk dalam agenda pembangunan.

Pemisah-misahan di dalam alam dan antara manusia dan alam, dan perubahan yang mengiringinya dari gugus kehidupan yang berkelanjutan ke penjarahan sumber daya alam menjadi karakteristik pandangan Cartesian yang telah menggantikan cara pandang dunia yang ekologis. Hal ini juga menciptakan sebuah paradigma pembangunan yang melumpuhkan alam dan perempuan secara bersamaan.

Akibatnya, menurut pandangan ekofeminisme, alam juga melakukan perlawanan, sehingga setiap hari manusia pun termiskinkan sejalan dengan penebangan pohon di hutan dan kepunahan binatang spesies demi spesies. Untuk menghindari terjadinya itu semua, maka menurut pandangan ekofeminisme, manusia harus memperkuat hubungan satu dengan yang lain dan hubungan dengan dunia selain dunia manusia (Tong, 2006).

Dalam merebut kembali hak kelola perempuan terhadap alam dan upaya pembalikan krisis ekologi, ekofeminisme yang menjadi proyek epistemik mencoba mengungkapkan selubung ideologis ilmu pengetahuan maskulin yang obsesi terhadap alam dan perempuan. Ekofeminisme berpegang pada premis bahwa kemunculan krisis ekologi tak bisa dilepaskan dari cara pandang androsentrisme yang serba maskulin, mendominasi, memanipulasi dan eksploitatif terhadap perempuan dan alam.

Dari uraian di atas tampak bahwa ekofeminisme berada dalam dua disiplin yang saling berkaitan, yaitu ekologi yang memfokuskan perhatian pada isu-isu alam dan lingkungan, dan feminisme yang memberikan perhatian secara khusus pada isi-isu gender.

Sebagai aliran pemikiran dan gerakan sosial, ekofeminisme mengidealkan adanya sikap dan tindakan manusia yang memberikan perhatian terhadap alam dan perempuan.

Karena, dalam kerahiman perempuan, lahir dan tumbuh kehidupan-kehidupan baru. Begitu pun bumi (alam), melahirkan dan menumbuhkan kehidupan yang baru pula. Di sini, dapat kita garis bawahi bahwa alam dan perempuan sebenarnya adalah sumber penghidupan dengan sistem produksi dan reproduksinya. Alam sebagai rahim dan perempuan yang memiliki rahim adalah kekuatan untuk berlangsungnya energi kreatif kehidupan. Jika itu semua dimatikan maka musnah sudah kehidupan di dunia ini.

Singkatnya, feminitas dan ekologi di satu sisi dan feminitas dan entitas di sisi lain adalah kesatuan yang alami, saling menyatukan dan dalam kehidupan nyata keduanya sama dan sebangun. Keduanya adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk mencapai endogenitas di dalam dunia yang terancam oleh tekanan dari modernisasi yang menuntut homogenitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun