Mohon tunggu...
Nur Arifin
Nur Arifin Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Awardee Beasiswa Pusbindiklatren Bappenas Linkage MEP UGM - GSICS Kobe Univeristy. ASN di Badan Pusat Statistik.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Urgensi Menuju Ekonomi Ramah Lingkungan

9 Mei 2019   10:10 Diperbarui: 10 Mei 2019   08:12 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Tengah memanas perseteruan antara Indonesia dengan Eropa terkait rencana Eropa menyetop penggunaan sawit. Perselisihan ini berpeluang menjadi perang dagang baru jika masing-masing bersikukuh, Eropa bersikeras menyetop sawit sementara Indonesia membalasnya dengan memboikot produk dari Eropa. 

Konon, salah satu alasan Eropa menyetop pemakaian sawit adalah karena isu lingkungan. Sawit dinilai tidak berkelanjutan, beresiko tinggi terhadap lingkungan karena isu deforestasi atau perusakan hutan yang masif.

Sebagai negara pengekspor sawit terbesar di dunia, langkah Benua Biru tersebut tentu mengancam perekonomian dalam negeri. Kasus ini menambah deretan panjang perselisihan antara pertumbuhan ekonomi dengan isu lingkungan. Belum lama ini juga viral sebuah film yang menyedot banyak perhatian, sexy killers.

Sebuah film dokumenter dari Watchdoc Image itu mengangkat pertentangan antara listrik dengan isu lingkungan. Film berdurasi 88 menit itu menyuguhkan ironi dari sebuah gemerlapnya cahaya di kota-kota besar yang harus dibayar dengan derai pengorbanan mereka yang hidup berdampingan dengan pertambangan batubara dan PLTU. Siapa yang mengira jika listrik yang sejatinya telah menjadi kebutuhan vital umat manusia menyimpan cerita pilu dibalik proses produksinya.

Seperti dicontohkan dalam film bahwa lubang-lubang tambang yang kemudian menjadi kolam raksasa ini tidak hanya merusak lingkungan secara masif, melainkan juga telah banyak menelan korban jiwa sehingga tak jarang membuat air mata mengalir deras. 

Kehadiran listrik dari segi ekonomi akan mencatatkan banyak value-added yang kiranya berkontribusi nyata pada pertumbuhan ekonomi, namun jika mau jujur, besaran kerugian akibat polusi dan kerusakan lingkungan dan ekosistem pun tidak main-main.

Sebuah studi yang dilakukan Robert Repetto et al. berjudul "Wasting Assets: Natural Resources in the National Income Accounts" mengungkapkan bahwa degradasi lingkungan yang terjadi di Indonesia dapat mengikis sedikitnya 3 persen nilai pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan Ekonomi atau Kelestarian Lingkungan?

Kasus sawit dan listrik tersebut menjadi sentilan bagi pembangunan ekonomi Indonesia yang masih mengesampingkan peran lingkungan. Memilih antara pertumbuhan yang tinggi atau kelestarian lingkungan adalah pilihan yang sulit. 

Pertumbuhan dapat mendorong kenaikan pendapatan nasional sementara kelestarian lingkungan menjamin keberlanjutan pembangunan untuk generasi mendatang. Keduanya bak dua sisi mata uang.

Bagi negara berkembang, semakin tinggi pendapatan nasional biasanya semakin tinggi tingkat kerusakan lingkungan. Lain halnya bagi negara maju, pendapatan nasional perkapita yang tinggi menjadikan mereka kemudian membagi kepeduliannya terhadap kelestarian lingkungan, sehingga mendorong turunnya tingkat kerusakan lingkungan. Hal ini dirumuskan menjadi environmental Kuznet curve, atau kurva U-terbalik gagasan Kuznet.

Kurva U-terbalik Kuznet menggambarkan hubungan antara pendapatan perkapita pada sumbu horizontal dengan polusi/degradasi lingkungan pada sumbu vertikalnya. 

Mulanya, tingkat degradasi lingkungan sangat tinggi hingga mencapai puncaknya karena negara fokus pada peningkatan pendapatan nasional, namun kemudian ketika standard hidup masyarakatnya meningkat seiring naiknya pendapatan nasional, tingkat polusi dan degradasi lingkungan kemudian menurun.

Pembangunan Inklusif dan Berkelanjutan

Pertumbuhan ekonomi menjadi mesin pendorong pembangunan. Agar tercipta pembangunan yang berkualitas dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Saking pentingnya dalam pembangunan suatu daerah, pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan ini dituangkan dalam target ke-8 Sustainable Development Goals (SDGs).

Inklusivitas diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya sehingga mampu mengurangi pengangguran serta akhirnya mengurangi tingkat kemiskinan. Sementara itu, untuk mewariskan hasil pertumbuhan dan pembangunan saat ini kepada generasi penerus, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yang ramah lingkungan atau environmentally-friendly economy.

Pembangunan ekonomi inklusif mencakup 3 pilar yaitu pilar pertumbuhan ekonomi, pilar pemerataan pendapatan dan pengurangan pendapatan kemiskinan, serta pilar perluasan akses dan kesempatan. 

Indeks pembangunan ekonomi inklusif Indonesia dalam tujuh tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup siginifikan, dari 4,83 pada 2011 menjadi 5,47 dari skala 10 pada 2017. Meskipun tergolong kategori memuaskan, nilai indeks tersebut masih terbilang rendah sehingga perlu upaya lebih serius untuk menggenjotnya.

Selain inklusivitas, keberlanjutan dalam pertumbuhan dan pembangunan juga sangat penting. Pengambil kebijakan di negeri ini perlu menyusun environment accounting untuk menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi. 

Nilai lingkungan yang hilang akibat aktivitas ekonomi, misalnya, harus dimasukkan dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi. Atau dengan kata lain, aset kapital yang termasuk salah satu unsur dalam pertumbuhan ekonomi juga seharusnya tidak hanya melibatkan kapital fisik, melainkan juga human capital dan environmental capital.

Hal itu kemudian membuat penghitungan pendapatan nasional neto berkelanjutan (sustainable net national income) juga mengalami sedikit modifikasi, yakni dengan melibatkan unsur degradasi atau kerusakan lingkungan. 

Gross National Income (GNI) tidak berdiri sendiri sebagai tolok ukur pendapatan nasional, tetapi harus dikurangkan dengan depresiasi aset kapital dari manufaktur, depresiasi aset kapital lingkungan. Bahkan nilai tersebut masih harus dikurangkan dengan biaya untuk memperbaiki dan pencegahan terhadap kerusakan lingkungan.

Guna mencapai pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, pemerintah harus lebih getol mempromosikan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan. Sudah saatnya sadar bahwa Indonesia harus mampu membangun negerinya tanpa merusak lingkungan dan mengubur harapan generasi yang akan datang.
***
Nur Arifin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun