PASCAÂ debat pilpres kemarin, mesin pencari di internet mungkin akan banyak dibanjiri kata kunci 'unicorn'. Sebuah istilah baru yang muncul akibat tuntutan perkembangan teknologi yang kian berevolusi. Kata unicorn juga sempat mencuat setelah bos Bukalapak mencuit mengenai data nilai R&D di Indonesia. Meski konon data yang diutarakan tidak mutakhir, namun besaran nilai R&D hanyalah salah satu dari serentetan pekerjaan rumah bangsa Indonesia di era ekonomi digital.
Dirasa kurang tepat jika pengembangan teknologi hanya ditujukan untuk mendukung pengembangan unicorn yang ada di Indonesia. Akan dibawa kemana nasib ribuan start-up lainnya jika mereka tidak diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi nasional? Terlebih jika pengembangan infrastruktur terkait, misalnya, hanya ditujukan untuk pengembangan start-up raksasa dengan valuasi lebih dari satu miliar dollar AS.
Perlu diingat bahwa jumlah start-up di Indonesia saat ini menduduki ranking kelima di dunia dengan jumlah mencapai 2.042 (startupranking.com). Seluruh start-up tersebut membutuhkan jawaban pemerintah atas tantangan ekonomi digital yang dihadapi Indonesia.
Ada banyak tantangan dalam pengembangan ekonomi digital di Indonesia. Utamanya, kesiapan teknologi dan kesenjangan digital (digital divide) antar daerah. Merujuk data BPS, Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) Indonesia tahun 2017 hanya sebesar 4,99 dari skala 10. IP-TIK merupakan alat analisis yang powerful untuk memonitor perkembangan masyarakat informasi global (Brahima Sanou). Nilai tersebut tentu saja terbilang rendah sehingga wajar jika International Telecommunication Union (ITU) menempatkan pembangunan TIK di Indonesia pada ranking ke-111 dari 176 negara di dunia, serta mengestimasi hampir separuh masyarakat Indonesia tidak memiliki telepon gengam sendiri.
Jika kepemilikan telepon genggam saja rendah, apalagi dengan penetrasi pengguna internet. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengamini data BPS dan ITU, menyatakan bahwa penetrasi pengguna internet di Indonesia hanya sebesar 54,68 persen, yang setara dengan 143,26 juta dari 262 juta jiwa penduduk Indonesia.
Belum lagi adanya digital divide antar daerah yang terjadi. Disaat IP-TIK DKI Jakarta bertengger di urutan pertama dengan nilai 7,61, IP-TIK provinsi lainnya hanya berada di bawah 6,09 dengan yang terendah Papua sebesar 2,95. Keberadaan digital divide juga ditegaskan oleh data APJII yang menemukan fakta miris bahwa hampir 80 persen pengguna internet berada di Pulau Jawa dan Sumatera.
Human Capital, selanjutnya, juga menjadi hal krusial dalam pengembangan ekonomi digital. Meski anggaran pendidikan dalam porsi belanja APBN dijaga tetap 20 persen, nyatanya masih banyak pekerjaan rumah terkait investasi pembangunan manusia di Indonesia. Bagaimana mungkin membangun ekonomi digital jika tingkat literasi membaca, matematika dan sains masih sangat rendah dan bahkan menduduki ranking terbawah dari seluruh negara ASEAN yang tergabung menjadi partner di PISA 2015, sebuah organisasi di bawah naungan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Literasi tersebut akan erat kaitannya dengan literasi digital dalam menyikapi berbagai macam persoalan terkait ekonomi digital.
Dampak Buruk Ekonomi Digital
Cara pandang seseorang dalam menyikapi perkembangan teknologi akan berdampak pada kehidupannya. Mereka yang mampu mengadopsi teknologi mutakhir akan mudah meraup benefits di era digital. Sebaliknya, bagi mereka yang gagap teknologi, akan mudah terdisrupsi bahkan kehilangan pekerjaan dan pendapatan.
Teknologi akan menciptakan skills-bias dan polarisasi distribusi pekerjaan. Skills-bias terjadi karena perbedaan level pendidikan dan kemampuan mengakses, mengadopsi dan mengembangkan teknologi. Memang, teknologi dapat meningkatkan produktivitas pekerja, namun bukan untuk pekerja yang illiterate. Nasib mereka justru terancam karena harus berkompetisi dengan automaton atau mesin-mesin yang siap kapan saja menggantikan posisi mereka dalam pekerjaan.