Sementara itu, polarisasi distribusi pekerjaan terjadi akibat pekerja middle-skill harus terdisrupsi karena digantikan automaton. Mereka akhirnya akan berebut dengan pekerja low-skill mengerjakan pekerjaan yang tak dapat dilakukan oleh mesin. Taruhan mereka jelas, mendapatkan upah/gaji yang rendah atau menjadi pengangguran. Sementara pekerja high-skill menikmati upah/gaji yang tinggi dan bahkan berbagi credits dengan koleganya yang terlibat dalam proses inovasi.
Skills-bias dan polarisasi yang ada akan memperparah ketimpangan pendapatan. Meski Gini rasio sebagai tolok ukur ketimpangan pengeluaran terbilang menurun akhir-akhir ini, yang berarti adanya penurunan tren ketimpangan. Namun jika dilihat lebih mendalam, ketimpangan yang terjadi di perkotaan masih masuk kedalam kategori sedang. Data BPS pada September 2018 menunjukkan bahwa distribusi pengeluaran penduduk perkotaan kelompok 40 persen terbawah sebesar 16,79 persen melampaui batasan yang digunakan Bank Dunia sebesar 17,29 persen. Menjadi indikasi awal bahwa tingkat perkembangan teknologi di perkotaan jauh lebih tinggi daripada di perdesaan.
Sehingga, dapatkah dibayangkan jika pengembangan infrastruktur terkait, misalnya, hanya difokuskan untuk mendukung para raksasa unicorn tanpa sedikitpun menyinggung start-up yang baru muncul ke permukaan? Akan separah apa skills-bias, polarisasi dan ketimpangan pendapatan yang terjadi?
Nur Arifin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H