Mohon tunggu...
Nur Arifin
Nur Arifin Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Awardee Beasiswa Pusbindiklatren Bappenas Linkage MEP UGM - GSICS Kobe Univeristy. ASN di Badan Pusat Statistik.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tiket Pesawat dan "Money Illusion"

26 Januari 2019   10:24 Diperbarui: 26 Januari 2019   10:58 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tengah ramai diperbincangkan di media sosial terkait penandatanganan petisi untuk meminta pemerintah memperhatikan harga tiket pesawat yang konon sudah tidak lagi masuk akal. Kenaikan tiket pesawat yang mulanya disangka sebagai harga saat peak season menjelang libur Natal dan tahun baru, rupanya terus berlanjut hingga tahun berganti.

Meski telah direspon, petisi ini sangatlah tidak mengherankan. Pasalnya, sebagai negara kepulauan, sudah seyogyanya bepergian menggunakan pesawat di negeri ini bukan lagi menjadi barang mewah. 

Tidak melulu tentang keinginan, tetapi sudah menjadi kebutuhan banyak warga Indonesia dengan beragam profesi dan kesibukan. Sehingga, harga menjadi hal sensitif yang perlu dipertimbangkan masak-masak.

Hal ini menjadi krusial yang harus didiskusikan bersama mengingat peranannya dalam perekonomian Indonesia juga sangat penting. Bagaimana tidak, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia ditopang oleh sektor konsumsi, hampir 13 persen diantaranya disumbang oleh subsektor transportasi dan komunikasi. 

Hanya satu tangga di bawah subsektor makanan dan minuman selain restoran. Saking pentingnya, sedikit pergesaran yang terjadi dapat berdampak besar terhadap ekonomi secara keseluruhan. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana dampak yang akan terjadi saat persentase kenaikan harga tiket lumayan tinggi.

Daya beli masih rendah

Meski kenaikan harganya masih dalam batas yang ditentukan, nyatanya banyak masyarakat mengeluh akan hal itu. Masyarakat belum siap untuk merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai perjalanannya menggunakan pesawat. Pasalnya, kenaikan biaya yang dihadapi belum tentu diiringi dengan kenaikan pendapatan, pun ada kenaikan dalam pendapatan, belum tentu setara atau mengimbangi kenaikan biaya yang membumbung terlalu tinggi. 

Secara total misalnya, dilihat dari pendapatan nasional Indonesia, jika laju pertumbuhannya paling banter berkisar antara 8 hingga 10 persen, itupun belum mempertimbangkan ketimpangan distribusi pendapatan didalamnya. Namun persentase kenaikan harga jauh melampauinya, tentu ini sangat mencekik leher masyarakat Indonesia pengguna jasa penerbangan. 

Mengutip dari petisi yang dimaksud, harga yang biasanya di bawah 1 juta PP perorang menjadi di atas sejuta bahkan menjadi 2-4 juta PP perorang. Jelas, kenaikan ini jauh melampaui kenaikan pendapatan masyarakat Indonesia, itupun jika ada.

Money Illusion

Banyak orang terjebak dalam besarnya nominal pendapatan mereka tanpa mempedulikan besaran riilnya. Kabar akan kenaikan gaji, misalnya, bak angin segar yang mampu membuatnya tersenyum lebar. Padahal, jika kenaikan pendapatannya tidak lebih besar dari kenaikan harga-harga (inflasi), sama saja dengan menurunnya daya beli. 

Merujuk data BPS, inflasi Desember 2018 hanya sebesar 0,62 persen, namun 0,24 persen poin diantaranya disumbang oleh kelompok transportasi. Lebih jauh, dari 0,24 persen poin tersebut, 0,19 persen poinnya (hampir 80 persen) disumbang oleh tarif angkutan udara.

Dampak inflasi kelompok transportasi tersebut barangkali tidak secara langsung mempengaruhi konsumsi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Namun, yang jelas berdampak kepada mereka yang memiliki rutinitas bepergian menggunakan pesawat. 

Lalu, apakah pendapatan mereka mengalami peningkatan? Melebihi persentase peningkatan harga tiket pesawat yang biasa mereka gunakan? Semoga saja.

Menghambat Pertumbuhan Ekonomi

Mengingat perananannya amat besar dalam perekonomian, penentuan kenaikan tarif tiket pesawat harus dipertimbangkan dengan matang. Harga yang terlampau tinggi dapat menurunkan aggregate demand yang berujung pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. 

Tentu, hal ini tidak pernah diidamkan oleh siapapun di negeri ini, negara yang tengah berjuang melawan jebakan middle income country, dimana salah satunya dengan menggenjot kegiatan ekonomi masyarakatnya.

Dampak negatif lainnya yang mungkin akan terpengaruh adalah sektor pariwisata dan aktivitas kurir. Kenaikan harga tiket pesawat menjadi ironis ketika pemerintah tengah gencar mempromosikan pariwisata Indonesia, sektor primadona yang banyak menghasilkan devisa. 

Bisa-bisa target 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia terancam. Merujuk data BPS selama Januari-November 2018 kunjungan wisman hanya menembus angka 14,39 juta wisman. Untuk menjelajah Indonesia yang notabene negara kepulauan, wisatawan mau tidak mau harus menggunakan moda transportasi udara. 

Jika tarif penerbangan domestik terlalu mahal, bisa jadi mereka mengurungkan niat berwisata ke Indonesia. sebaliknya, wisatawan domestik akan menjelajah negara lain yang tiket pesawatnya jauh lebih terjangkau dengan beragam iming-iming promo.

Digital economy yang tengah bergeliat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan jasa kurir pengiriman barang. Seperti disebutkan sebelumnya, negara kepulauan menuntut tingginya penggunaan moda transportasi udara untuk mengirim barang dari satu pulau ke pulau lainnya. 

Jika tiket pesawat mahal, yang berimbas pada naiknya ongkos kirim, konsumen akan sangat terbebani. Pelaku usaha online pun tidak lagi bergairah karena turunnya pesanan yang mereka terima.

Akhirnya, penting bagi pemerintah sebagai regulator untuk mempertimbangkan dampak-dampak yang mungkin terjadi akibat kenaikan harga tiket pesawat yang terlalu tajam.

-Nur Arifin-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun