(Rasional-Emosional)
Sebab Politik adalah ketrampilan menyusun, mengemas, dan memoles dusta.-HS-
Saat ini kita hidup di tengah-tengah Masyrakat yang disruptif, penuh dengan pseudo-simbol. Â Mulai dari ranah privat sampai ranah publik, mulai dari ranah eksklusif sampai ranah populer. Ambil contoh populisme environmentalis.Â
Mereka mulai mendebat tradisi dan kebiasan orang-orang yang bertentangan dengan ideologi mereka, mulai mencacati persoalan nasi putih dengan nasi merah, pengurangan penggunaan sedotan, buah organik, plastik dan sintetis, rekayasa kimiawi, dan lain sebagainya.
 Hal-hal yang berbau alami dianggap sebagai yang baik. Masalahnya, ini menjelaskan bagaimana masyarakat sebenarnya tidak membicarakan kebaikan atau keburukan dari perdebatan tersebut, melainkan masuk ke dalam jejaring populisme.
Perlu diketahui, salah satu dalil hasrat adalah bahwa ia ada sebagai manifestasi dari hasrat orang yang lain. Artinya, kita akan menghasrati apa yang dihasrati oleh orang lain. Adapun manfaat serta esensi dan makna di baliknya hanyalah bumbu penyedap untuk menegaskan bahwa kita menghasrati sesuatu yang benar atau baik untuk diri kita. Masalahnya lagi,masyarakat seakan tidak menyadari bahwa ada sosok yang me[manfaat]kan dan mengeruk keuntungan di balik idealisme tersebut [kapitalisme].
Tatanan sosial yang kita yakini, seperti demokrasi liberalisme, HAM, dan lain sebagainya selalu digembok oleh oknum-oknum yang mengeruk keuntungan dan menancapkan paku kekuasaannya. Di balik dekorasi indah demokrasi dan kebebasan atau liberalisme, kekuatan kelompok yang bermodal menjadi duri dalam daging bagi kelompok yang [nir modal]. Sistem kebebasan akhirnya melapuk dan menempel pada dominasi, hegemoni, dan kekuasaan kapitalisme.Â
Dengan ini, bukan hal yang mengherankan jika Paradoksnya, kita sering mengendus nuansa komunisme di berbagai aspek kehidupan bernegara, seperti pasal keadilan sosial bagi seluruh rakyat, tematisasi gotong-royong, pendisiplinan seragam dalam bersekolah, simpatisasi kebencian akan kesenjangan ekonomi masyarakat, dan lain sebagainya.
 Jika kita kalkulasikan, itu semua adalah nomenklatur dalam ideologi [komunis]me dan [sosial]isme. Masalahnya, mengapa kita membenci istilah tersebut, namun memberikan ruang dalam praktiknya. ?Â
Kita Belajar dari Mereka