Dengan  banyaknya reme teme polemik politik saat ini, seolah-olah menguji kualitas demokrasi yang kita junjung. Namun pada saat yang sama banyaknya rakyat yang mengawasi sehingga berita-berita ini dapat dengan cepat disebarkan dan ditangani serta membuktikan, bahwa tidak mungkin untuk mempertahakan proses demokrasi yang bersih dan transparansi. Â
Integritas Demokrasi Formalitas
Demokrasi yang tidak dewasa hanya akan melahirkan para pemimpin cengeng (baper) untuk menjadi seorang pemimpin. Pada saat yang sama  Kondisi ini hanya akan melahirkan demagog-demagog yaitu orang-orang yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat dan tidak hanya untuk mendapatkan kekuasaan opini publik, namun juga mendongkrak elektabilitas politik secara aman dan pula mapan. Padahal demokrasi  sejati adalah bagaimana memperjuangkan keragaman dan inklusivitas. Dengan begitu sebagian besar populasi global adalah kaum pemuda. Namun pada saat tertentu inklusi mereka malah bersifat tokenis dalam politik yang merusak cita-cita demokrasi. Â
Beberapa negara, termasuk Indonesia, berada pada titik yang sangat penting. Pada kondisi tersebut kini tantangan di abad ke-21, kita-pun disuguhkan mulai dari perubahan iklim hingga disrupsi serta teknologi. Olehnya itu, para pemimpin muda, yang selalu mengikuti perkembangan isu-isu kontemporer, secara alamiah kita sudah semestinya siap untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Namun, kita pun membutuhkan lebih dari sekadar platform pemberdayaan yang tulus, dan ini bukan hanya tentang representasi dalam peran kepemimpinan dalam membuat suatu keputusan yang berarti agar menjadi bagian dari diskursus strategi, dan memiliki wewenang untuk membawa suatu perubahan. Muncul asumsi yang keliru bahkan berbahaya bahwa dalam sistem demokrasi, "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan" (vox populi, vox Dei).
 Padahal jika dibandingkan sifat Tuhan Yang Maha Benar, bukankah suara rakyat mayoritas bisa keliru, bias, bahkan dibeli? Sebagaimana menurut Firman Mulyadi, S.H.,M.H. yang dalam bukunya bertajuk "Demokrasi di Persimpangan jalan". Iya menerangkan bahwa, belum tentu suara rakyat adalah suara kebenaran, bijaksana, dan ideal apalagi sama dengan suara Tuhan (vox Dei). Kemudian, apakah Indonesia negara hukum sekaligus negara demokrasi, negara hukum sekaligus bukan negara demokrasi, atau negara demokrasi sekaligus bukan negara hukum? Pertanyaan ini penting dijawab, sebab akan berimbas pada sikap negara dalam memposisikan hukum dan kehendak rakyat. Akhirnya, ketika kebijakan parpol bertentangan dengan aspirasi rakyat, lalu kemanakah Anggota DPR harus memihak? Sebab, faktanya, Anggota DPR merupakan Wakil Rakyat sekaligus Kader Parpol. Terutama dengan adanya sanksi kebijakan Pergantian Antar Waktu / PAW (recall) dari parpol terhadap Anggota DPR, maka kuasa para elit parpol terhadap Anggota DPR akan tampak dan mapan dibanding kuasa rakyat terhadap Anggota DPR.
Hal absurd lainnya ialah ketika seseorang yang memiliki kemampuan yang mumpuni untuk suatu posisi akan kalah dengan orang lemah namun memiliki banyak suara di belakangnya.Â
Suatu negara tanpa peradaban sukar untuk dibayangkan bagaimana wujudnya. Sebaliknya peradaban tanpa negara adalah tidak mungkin sebab, hal itu akan bertumpuh pada naluri manusia untuk bekerja sama. Â Seperti musim hujan, dalam politik musim menentukan pilihan sudah pasti akan datang.
Di saat yang sama, ini merupakan sebuah keniscayaan dari dinamika yang biasa ketika loyalitas dan dukungan politik tidak lagi beriringan. Namun ini adalah hal yang wajar karena beda kepala beda pemikiran, dan beda kepala, beda kepentingan yang pada akhirnya beda kepala beda pula pilihan jalan. Tapi kalaupun loyalitas dan dukungan politik kita berbeda sekalipun, namun kita bisa dipertemukan dipersimpangan jalan dan pada akhirnya kita bisa beriringan dalam pilihan politik yang seragam, tak ada yg salah dan dipersalahkan. Sebab, pada saat yang sama, perbedaan adalah keniscyaan bahkan hal itu merupakan sebuah rahmat dari tuhan selama nawaitu kita sama - sama untuk kebaikan, dan kebaikan anda kebaikan saya, kebaikan mereka atau kebaikan kita bersama.Â
Olehnya itu sebagai penutup penulis meyakini dan berharap bahwa, pesta demokrasi (pemilukada) tahun ini harapannya tidak hanya sebagai ajang konstestasi (politik)  melainkan juga sebagai bagian dari manifestasi gagasan yang dituangkan dalam ruang Public (Public Sphere) agar ini menjadi ikhtiar kecil kita dalam rangka merekonstruksi kerja yang besar untuk menjaga marwah demokrasi sesuai dengan amanat konstitusi dalam berbangsa dan bernegara, agar kedepannya  bangsa ini akan lebih baik seperti yang diharapkan.
 Selain itu ajang kontestasi (pemilu) juga tidak sekadar memilih hingga melantik pemimpin terpilih, lebih dari itu juga mengandung dimensi filosofis yang syarat dan erat kaitannya dengan tata kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni hidup berdemokrasi.Â
Semoga.***