Mundurnya Reformasi ditandai dengan merosotnya Demokrasi serta diperburuk oleh dinamika politik bangsa ini.Â
Proses reformasi yang pernah terjadi di tahun 1998-1999 mengharapkan supaya demokrasi dipraktikkan dengan pemikiran yang dewasa, tetapi justru yang terjadi kini malah demokrasi yang saling berebut kepentingan dengan jalan merusak sistem secara ugal-ugalan. Misalnya kejadian pengubahan syarat usia capres/cawapres melalui jalan pengujian undang-undang dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.Â
Demokrasi kini telah menjadikan  kemerdekaan bangsa ini semakin berarti, namun ironisnya banyak hasil riset yang justru menjabarkan penyebab penurunan piramida demokrasi yang beberapa di antaranya laporan The Economist Intelligence Unit" (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia, dan Democracy Report (DR) yang menunjukkan pengurangan signifikan, baik kebebasan sipil, pluralisme, dan fungsi pemerintahan.Â
Penuruan kualitas tersebut menandakan bahwa pergeseran pola demokrasi di Indonesia yang semula demokrasi elektoral menjadi demokrasi transaksional, ini berarti bahwa, demokrasi elektoral melalui pemilu belum mampu memberikan jaminan terpilihnya figur pemimpin nasional dan cakap namun juga menyebabkan demokrasi Indonesia tergadai (tersandera) oleh kekuatan modal oligarki.
Pada saat yang sama, alih-alih keresahan kolektif bangsa ini pun sudah seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sebuah alarm moral bagi setiap anak bangsa khususnya para insan (intelektual) dan kampus. Namun dilain sisi kita semua sudah semestinya bertanggung jawab dalam meluruskan kembali arah perjalanan bangsa dengan perspektif konstitusional sebagaimana amanah UUD 1945. Dan kita sudah seharus-nya siap untuk memperbaharui konstitusi dan beberapa Undang-undang terkait untuk disesuaikan dengan kaidah-kaidah demokrasi agar segala reme-teme (problem) mendasar di bangsa ini bisa teratasi dengan baik.
Tantangan demokrasi di Indonesia.
Sejak memasuki era reformasi, konsep demokrasi semakin nyata gaungkan. Mulai awal runtuhnya rezim otoritarian orde baru ditandai dengan krisis politik dan krisis ekonomi di Indonesia. Kemudian Indonesia masuk ke babak baru yaitu era Reformasi yang diharapkan mampu mengembalikan kestabilan serta perbaikan kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dari kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dikalangan masyarakat dalam mengkritik pemerintah.Â
Dicabutnya larangan ekspresi budaya Tionghoa oleh Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid dikala itu menandakan bahwa prinsip Demokrasi Pancasila masih diminati oleh bangsa ini, namun di sisi lain, era reformasi juga membawa dilema untuk bangsa ini salah satunya adalah karena kebebasan dalam berpendapat kerap di salah-gunakan sebagai penegasan terhadap identitas kelompok tertentu atas nama mayoritas. Hal tersebut tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini dan secara potensial ini dapat mencederai hakikat demokrasi.Â
Sebagai contohnya, banyak kita temukan konflik berbasis perbedaan agama dan budaya  terjadi di masyarakat, maraknya ujaran kebencian terhadap suatu kelompok minoritas, serta bermunculannya ideologi intoleran dan kejahatan. Di level pemerintahan dan politik  kondisi demokrasi di Indonesia, khususnya dari aspek supremasi hukum pun kerap mengkhawatirkan. Salah satunya bisa kita amati dari banyaknya tindakan pelanggaran HAM, minimnya pelibatan aspirasi rakyat dalam ruang publik sebagaimana dimaksud oleh salah satu tokoh sosiologi Jerman Jurgen Habermas sebagai (Public-Sphere)
 terhadap Rancangan berbagai Undang-Undang seperti Revisi UU KPK, RKUHP, keberadaan UU ITE yang menyulitkan pejuang HAM, beberapa penerbitan Perpu yang tidak dilandaskan pada kajian yang objektif dan lainnya.Â