Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar Tapi Bukan Merdeka Berfikir

7 Mei 2024   16:51 Diperbarui: 7 Mei 2024   17:40 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: PRIBADI

I Can't go to school because it's expensive.

"Catatan Refleksi Hari Pendidikan Nasional"

Beberapa waktu lalu ketika menghadiri sebuah agenda pelantikan komunitas yang inisiatifnya digagas oleh  mahasiswa Magister Maluku Utara D.I.Yogyakarta.

Dalam pelantikan tersebut di selingkan pula dengan  Obrolan dengan tema yang bertajuk"Disparitas Pendidikan Di Maluku Utara" Dari obrolan tersebut juga menuai beragam pernyataan dan juga pertanyaan dari forum tersebut.

Disaat yang sama, pemaparan materi yang terdiri dari 3 Orang itu, mereka adalah para akademi dari kampus ternama di kota Yogyakarta. Selain sebagai akademisi, mereka juga bagian dari  sesepuh kami.

Dari beberapa pemaparan materi yg di kupas. Ada satu hal yang saya tanyakan. Yakni, terkait pendidikan di Maluku Utara yang kini masih mengalami disparitas. Kiranya pertanyaan yang saya ajukan pun demikian, karena saya pun tak luput dari ingatan yang tiba pada point of view atas data dari hasil Human development indeks (indeks pengembangan Manusia) bahwa pendidikan di Maluku Utara kini masih berada pada komposisi ke 27 dari 33 Provinsi di Indonesia. Disaat yang sama, menurut Politic And Economic Risk Consultan (PERC) pun demikian bahwa, kualitas pendidikan di maluku Utara masih terkategori pada urutan ke 29 dari 33 provinsi di Indonesia.


Dari data tersebut diatas menunjukkan bahwa,  betapa buruknya tingkat pendidikan di Maluku Utara dan hal ini diperlukan peningkatan dan mutu SDM. Padahal kita punya SDA Dan  jika kita merujuk pada UU No 20 Tahun 2003, pasal 31 Ayat 1 Dan 2 UUD 1945 bahwa sesungguhnya, pendidikan tidak hanya sebagai hak, melainkan juga sebagai kewajiban yang diperoleh bagi setiap anak bangsa . Dan negara wajib membiayainya.

Tapi to, sistem pendidikan kita saat ini malah  tak jauh beda jika kita konotasikan dengan sistem pendidikan di masa Hindia Belanda terkait dengan politics etis yang di cetuskan oleh Van deventer..?

Jika kita membaca kembali politik Etis atau yang kita kenal "politik balas Budi" (Hindia-Belanda) yang dicetuskan oleh Van Deventer. Dalam pandangan kita mungkin merupakan sebuah balas dendam. Karenanya pendidikan, hanya diperuntukkan bagi kalangan (bangsawan) yang bersekutu dengan pemerintah Hindia-Belanda dikala itu.

Sejarah pada masa lalu  (hindia-belanda) terdapat dua jenis sekolah dasar, yang kita kenal yakni "Hollandsche Inlandsche School" (HIS) sekolah untuk kaum pribumi dan Europesche Lager School (ELS) sekolah untuk bangsa-bangsa eropa, beberapa pribumi dan tionghoa terpilih.

Disaat yang sama, tidak semua orang pada masa itu bisa sekolah di HIS maupun ELS. Hanya anak-anak dari kalangan bangsawan (ningrat) lah yg bisa menyekolahkan anaknya,

Dan ketika kita melangkah ke peradaban 100 tahun depan, kini kondisi pendidikan di Indonesia  memang tak  jauh beda. Lagi-lagi biaya pendidikan (sekolah) terasa mahal dan tidak bisa diakses oleh semua orang, terkecuali orang kaya. Hal tersebut sebagaimana yang dimaksud oleh Eko Prasetyo dalam bukunya yang bertajuk "Orang miskin dilarang sekolah" adalah sama halnya orang miskin dilarang sakit.  Inikah yang dimaksud dengan kurikulum Merdeka ?

Jadi rasanya tak adil, sebab pendidikan bukan sekedar dalam tataran gagasan,  tetapi sudah semestinya dimanifestasikan melalui  sentuhan tangan negara. Padahal menurut menteri pendidikan dan kebudayaan "Nadiem Makarim"  penerapan Kurikulum Merdeka belajar diharapkan agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. 

Long life Education.

Dalam era yang serba dinamis dan kompleks, Kurikulum Merdeka belajar menjadi solusi pendidikan yang holistik dan kreatif, sehingga siswa dapat bersaing dengan baik di tingkat global. Namun sistem yang dirasakan hanya bagi mereka yang berpunya..

Disaat yang sama, saya pun sepakat dengan tanggapan dari  akademisi dan juga selaku Tokoh mudah Malut D.I.Y  Dr. King Faisal, yang mengutarakan secara detail itu benar adanya bahwasannya, investasi terbesar manusia adalah pendidikan. Namun indeks prestasi manusia (IPM) di Malut dalam sektor pendidikan kini masih terbilang dibawa rata2. Padahal, kita punya SDA yg mumpuni, Tapi berapa persen corporat Sosial responsibility (CSR) yang diprioritaskan buat SDM Maluku Utara untuk mengenyam pendidikan secara merata. ?

Implementasi kurikulum Merdeka Belajar. Bukan merdeka berfikir.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah mengembangkan Kurikulum Merdeka sebagai solusi untuk mengatasi disparitas pendidikan antara daerah pesisir dan daratan di Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, dalam sebuah konferensi pers yang diadakan di Jakarta pada Senin (5/4).

Menurut Nadiem, Kurikulum Merdeka merupakan pendekatan holistik yang tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga mengakomodasi potensi lokal dan kebutuhan sosial di wilayah yang bersangkutan. Dengan begitu, pendidikan dapat lebih relevan dan bermakna bagi siswa, serta dapat membantu mengurangi disparitas antara daerah pesisir dan daratan.

kurikulum Merdeka belajar yang didesain oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan tersebut adalah untuk mengakomodasi potensi lokal dan kebutuhan sosial di wilayah masing-masing.  Dengan demikian, pendidikan tidak lagi terkesan dipaksakan dari luar, melainkan relevan dan bermakna bagi siswa.

Sedangkan setelah era reformasi saja, kurikulum di Indonesia hanya berganti sebanyak empat kali. Dimulai dari Revisi Kurikulum 1994 yang diterapkan tahun 1998 hingga Kurikulum Merdeka yang diterapkan tahun 2022. Berdasarkan data yang ada tentu telah mematahkan pendapat bahwa ganti Menteri pasti ganti kurikulum.

Untuk itu,  organisasi yang terintegrasi dalam komitas Magister Peduli Pendidikan Malut (KOMPPI-MALUT) kiranya tidak hanya hadir sebagai corong dalam mendorong problem pendidikan yang kini masih terbilang disparitas di Maluku utara semata. Namun sudah semestinya hadir dalam menjajaki problem kerakyatan di Malut khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Selain itu diperlukan pula peran dari para civil society, aktivis (mahasiswa pemudah)  agar di momentum pilkada 2024, kiranya bisa bersama-sama turut  menawarkan gagasan konsep sebagai bentuk sikap  keberpihakan kepada rakyat. Agar kebijakan yang diambil oleh pemangku kepentingan (pemerintah Maluku utara)  dapat di akses secara merata oleh semua anak bangsa. Dengan demikian, maka  kurikulum merdeka belajar dapat tumbuh bersamaan dengan kurikulum Merdeka berfikir pula sebagaiman pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945.  Semoga.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun