Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Imoralitas Intelektual

30 Maret 2024   01:26 Diperbarui: 30 Maret 2024   05:18 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Arifin Biramasi

Penggagas Kutub Oase Yogyakarta

 

 Antonio Gramsci, pemikir dari Italia yang hidup pada masa represi rezim Fasis Benito Mussolini, semasa di penjara,ia berpikir tentang bagaimana sebuah kekuasan yang totaliter selalu memiliki celah. Celah itulah yang bisa digunakan untuk melawan-balik kekuasaan yang seorang tidak bisa dilawan.

 Dewasa ini pembangunan sumber daya manusia (SDM) tengah menghadapi  proses turbulence-(badai besar) yang  mengharuskan adanya paradigma baru yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman

Secara empiris definisi_(Brengsek) adalah sebuah tindak kejahatan  yang dapat dilihat dari dua perspektif, pertama adalah kejahatan dalam perspektif  yuridis, kejahatan ini di rumuskan sebagai perbuatan yang oleh negara diberi pidana. Pemberian pidana ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan (Equilibrium) yang terganggu akibat perbuatan tersebut. Artinya perbuatan tersebut oleh negara tidak dijatuhi pidana.  Jadi disini ada batasan-batasan kejahatan menurut Bonger adalah sebuah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau penderitaan). selanjutnya menurut (B. Simanjuntak, 1981-1982:70).

Kejahatan tetaplah kejahatan dan hal itu merupakan perbuatan imoral, yang anti sosial, dengan demikian, perbuatan atau  kejahatan tersebut jika dalam perspektif hukum pidana, disebut dengan tindak pidana (straftbaarfeit). selanjutnya,kejahatan dalam (persfektif) sosiologis ialah (kriminologis)  yang merupakan suatu perbuatan kejahatan pula, Sedangkan dari perspetif yuridis (hukum posistif) bukan merupakan suatu kejahatan. Artinya perbuatan tersebut kalau bagi negara tidaklah dijatuhi pidana. Padahal kejahatan merupakan bagian dari sebuah perbuatan imoralitas, karena batasan kejahatan adalah sebuah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara, berupa pemberian (hukuman atau penderitaan). Dari fenomena-fenomena semacam itu,sesungguhnya tidaklah terlepas dari peranan kaum intelektual dalam menjalankan kewajibannya dalam bersikap, berperilaku dan bertindak sesuai dengan orientasi nilai budaya akademis yang mendukung pembangunan Indonesia. Lebih jauh, golongan intelektual sesungguhnya memiliki peranan yang amatlah penting untuk memperluas pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, karena posisi golongan intelektual di Indonesia memang sangatlah strategis. Dari sini kita bisa lihat bahwa golong intelektual tentunya diharapkan agar mampu menjadi motivator untuk mendirikan sarana dan prasarana dalam jumlah yang lebih banyak, misalnya membentuk yayasan-yayasan yang berorientasi pada pendidikan, dan lain sebagainya. Secara cermat mungkin kebutuhan masyarakat akan pendidikan dalam menyampaikan permasalahannya kepada pemerintah agar dipecahkan bersama-sama secara bijaksana, serta mengevaluasi keadaan pendidikan yang sedang berlangsung agar dapat memperbaiki keadaan Pendidikan, sebelumnya, sehingga pihak pemerintah dan swasta yang berkecimpun dalam pendidikan tersebut dapat membenahi kekurangan-kekurangannya (Putro, 2000).

Dalam Fungsi Pikir 

Intelektual, berasosiasi dengan kata (pikiran), sebab, dengan intelektual, orang dapat menimbang, menguraikan, serta dapat menghubungkan pengertian satu dengan yang lainnya. sedangkan inteligensi: (kecerdasan-pikiran), dengan inteligensi fungsi pikiran dapat digunakan dengan cepat dan tepat dalam mengatasi situasi agar dapat memecahkan suatu masalah. Dengan kata lain, inteligensi merupakan situasi, kecerdasan pada cara mengungkapkan fenomena yang menjadi referensi. Jadi kita dapat mengurai  dalam  sumber lain dan mengambil contoh pada gejala sosial yang terlihat negatif, karenanya perilaku menyimpang bisa dilakukan secara individual atau kelompok pula. Olehnya itu,dsini penulis sedikit mengurai dalam Perspektif Sosiologi tentang Perilaku menyimpang, baik yang termasuk dalam kategori klasik ataupun dalam kategori modern yang dimana telah memberi penjelasan yang cukup memadai untuk bisa dijadikan pijakan kita, dalam rangka untuk memahami sebab-sebab terjadinya perilaku menyimpang. Hal yang sama, sebagaimana menurut salah seorang filsuf (tokoh) sosiologi Prancis "Emile Durkheim" dengan konsepnya (anomie), disini Durkheim menyebutnya  adalah suatu situasi tanpa norma dan arah yang tercipta akibat tidak selarasnya harapan kultural dengan realitas sosial. Selanjutnya, penulis meminjam pemikiran Merton yang mencoba menghubungkan istilah (anomie) dengan penyimpangan sosial sebagai akibat dari sebuah proses sosialisasi. Apabila ke-sempat-an untuk mencapai tujuan tidak ada atau tidak mungkin, maka yang pastinya individu-individu tersebut mencari alternatif, berupa penyimpangan sosial.  Dalam pengertian lain sebuah inovasi ritualisme yang negatif  akan terjadi manakala jika sese-orang tersebut menerima dengan cara-cara yang diperkenankan secara kultural, tetapi menolak tujuan-tujuan kebudayaan. Berdasarkan ilustrasi diatas, penulis mencoba memaparkan terkait dengan pandangan "Antonio Gramsci dan Syari 'ati"  dalam mengungkap cakrawala pemikirannya, keduanya secara sistematis dengan pendekatan historis-filosofis dan dengan metode komparatif antara Gramsci dan Ali Syari'ati. Maka, untuk memahami konsep tanggung jawab kaum intelektual, disini penulis mencoba meng-komparasikan pemikiran dari keduanya, bahwa Antonio Gramsci secara gamblang melihat kaum intelektual merupakan seorang pendiri, organiser, pejuang yang militan untuk mampu menangani segala segi perjuangan. Mereka mampu membangkitkan perlawanan budaya untuk hegemoni, dan mereka juga dapat menyiapkan perjuangan politik yang akan berpuncak pada perebutan kekuasaan atas kelompok dominan. Karena mereka pun menyadari akan fungsinya sendiri bukan cuma pada lapangan ekonomi, namun juga pada lapangan sosial dan juga politik pula. Disaat yang sama, Gramsci memberikan penyadaran pada kelas pekerja dan memobilisasi kekuatan dalam meraih kekuasaan. Sementara Ali Syari'ati melihat  intelektual adalah orang yang tercerahkan dan sadar akan kondisi manusia di masanya serta (setting) kesejarahan ke(masyarakat)annya yang mampu mengembankan tanggung jawab sosial, sederhana kata,mereka akan memanfaatkan potensinya yang ada untuk suatu perubahan.

Imoral  Intelektual Dalam Fungsi Sosial 

Berdasarkan hasil dari berbagai uraian tersebut, bahwa disini penulis tidak  secara runut mendefenisikan terkait dengan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh kalangan intlektual,namun disini penulis hanya memberi ilustrasi dari tindakan menyimpang yang kiranya menjadi salah satu penyebab, semakin tumbuh suburnya budaya tersebut. Disaat  yang sama, praktek-praktek penyimpangan yang dilakukan oleh kalangan sebut saja intelektual (brengsek) tersebut tidak hanya terjadi di institusi  pendidikan, Namun lebih brengseknya lagi terjadi di berbagai ruang tertentu dalam hal ini (Desa). Dari hal demikan dipaparkan maka, pertanyaan-nya lantas Intelektual seperti apa yang harus kita miliki. ? Dari hal tersebut diatas penulis meminjam pemikiran "Chomsky" yang dimana ia mengungkap bahwa, kaum intelektual sudah seharusnya berada dalam poisisi untuk mengungkap kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisis tindakan-tindakannya sesuai penyebab, motif dan maksud-maksud yang sering tersembunyi disana. dari pandangan Chomsky tersebut, perlu digaris bawahi bahwa,pendidikan tentunya memegang peranan penting dalam rangka membentuk golongan intelektual, tidak hanya pendidikan akademik namun diperlukan juga pendidikan karakter, agar  supaya dapat mencapainya suatu pembangunan yang diharapkan. Disaat yang sama, kaum intelektual sudah harus membangkitkan massa dengan ide-ide revolusioner-nya dalam menciptakan suatu perubahan. Olehnya itu, Integritas dan intelektualitas dalam berkiprah di tengah-tengah masyarakat pun memiliki pijakan sebagai basis yang akan diperjuangkannya. Serta memposisikan diri untuk terjun ke basis massa atau melakukan perjuangan lewat jalan struktural,  maka salah satu sikap dalam menentukan posisi tersebut harus diambil untuk menentukan arah intelektualitas-nya, dan tidak boleh mengambang di antara basis dan struktur sebagaimana yang dimaksud Chomsky (1966).  Dalam kerangka kaum intelektual dari hal tersebut  Gramsci membuat pembedaan intelektual tradisional dan intelektual organik sebagaimana yang ditulis oleh salah satu dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya,. "Finsensius Yuli Purnama" yang dalam artikelnya bertajuk "Disinformasi dan Peran intelektual organik" Pada Harianjogja.com 23/10/2018. bahwasannya, selama seorang akademisi hanya berkutat pada teori dan tidak pernah menempatkan penyelidikannya dengan upaya menyelesaikan persoalan sosial yang ada, ia akan terjebak pada teori semata. Hal tersebut dapat dilihat pada realitas kehidupan sehari-hari, bahwa,kaum Intelektual adalah pihak yang memiliki wawasan luas dan berpendidikan tinggi, padahal masyarakat beranggapan bahwa, kaum intelektual adalah pihak yang bisa memberikan solusi penyelesaian atas segala problem sosial yang terjadi dalam realitas kehidupan sehari-hari.  Namun pada kenyataannya, masihada fenomena-fenomena serta perilaku  menyimpang yang kini terjadi. Disaat yang sama, hal tersebut kini masih dipraktekkan serta terus dipelihara oleh setiap orang dan juga golongan. Mulai dari Negara hingga ke Desa yang ada di Negeri ini,dan pihak-pihak  tersebut adalah gologan yang dianggap memiliki kecerdasan intelektual. Tidak seharusnya kaum intelektual harus mengorbankan intelektualitasnya apalagi melakukan hal yang demikian,namun sudah semestinya menumbuhkan kembali semangat idealisme-nya dikalangan rakyat untuk memperkuat (civil society)  agar supaya dapat mengimbangi kekuatan birokrasi untuk mencapai cita-cita demokrasi seperti yang kita harapkan. Hal yang sama, sebagaimana yang dimaksud oleh "Iwan Meulia Pirous" yang dalam artikelnya bertajuk "Membangun Nilai Budaya Perlawanan Intelektual" Pada (Harian kompas 6/2024).  Olehnya itu sebagai penutup dari tulisan ini, kiranya  kaum intelektual bukanlah (influencer) dengan jutaan (followers) sehingga perlawanan kerap hanya berfungsi sebagai pelipur lara dalam "echo chambers" (ruang gema)  sebagaimana  yang di tulis oleh Yanuar Nugroho namun kaum intelektual adalah seruan perlawanan semesta yang besar, dalam hal ini "kita" yang dimaksud haruslah sebesar rakyat Indonesia sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun