Mohon tunggu...
Arifin Ilham
Arifin Ilham Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Haruskah aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sukar dalam Warna Abadi

20 Oktober 2024   19:00 Diperbarui: 20 Oktober 2024   19:03 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       Setelah beberapa saat, pesawat itu siap. Tanpa banyak bicara, pemuda itu mengajak Sachi naik ke atas pesawat. Meskipun ragu, Sachi menaiki pesawat itu. Jantungnya berdegup kencang, merasakan kombinasi antara rasa takut dan kagum. Mesin pesawat mulai berdengung, mengeluarkan bunyi keras yang menggema di sekeliling. Perlahan-lahan, pesawat itu bergerak, lalu meluncur cepat, terangkat dari tanah. Udara menyapu wajah Sachi, membuatnya tersenyum. Ia melihat ke bawah, menyaksikan tanah yang semakin jauh. Pemuda itu benar-benar berhasil. Ia telah mewujudkan impiannya---membuat pesawatnya terbang.

       Namun, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Tanpa peringatan, mesin pesawat mulai bergetar keras. Sachi merasakan tubuhnya terguncang, dan tiba-tiba pesawat kehilangan kendali. Dalam hitungan detik, pesawat itu jatuh dengan kecepatan yang mengerikan, menghantam permukaan laut di bawah mereka. Air yang dingin dan tajam menyambut tubuh Sachi dan pemuda itu. Sachi tenggelam dalam air, merasakan gelombang yang mendorongnya ke kedalaman.

       Di bawah permukaan air, Sachi melihat pemuda itu berjuang untuk berenang ke tepian. Namun, kakinya tertancap sesuatu, sebuah besi tajam yang menusuknya, menghalanginya bergerak dengan leluasa. Wajah pemuda itu penuh kesakitan, tetapi ia tidak menyerah. Dengan tekad yang kuat, ia menarik tubuhnya menuju daratan, meski darah mulai bercampur dengan air di sekelilingnya

       Sachi hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Ia merasa tak berdaya, seolah-olah terperangkap dalam laut yang dingin dan gelap. Pemuda itu akhirnya mencapai tepian dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar, tetapi ia tetap berusaha bangkit. Dengan satu tarikan yang penuh kekuatan, ia mencabut besi yang tertancap di kakinya. Sachi menyaksikan bagaimana besi itu merobek kulitnya, menyebabkan tulangnya patah. Namun, pemuda itu hanya mengerang pelan, tak membiarkan kesakitanya mengalahkanya. Setiap detik sachi rasakan terasa seperti selamanya saat air laut merenggut nafasnya. Hatinya berdegup kencang, layaknya genderang perang, sementara langit mendung seolah mengintip dengan tatapan penuh iba. Ketika tubuhnya mulai tenggelam, rasa takutnya berubah menjadi keheningan, seolah waktu berhenti.

        Sachi kehilangan kesadarannya, buih-buih air pun mengelilinginya. Berkumpul menjadi satu yang berkaitan satu sama lain, membawanya ke tempat lain, buih air itu berkilau di bawah sinar bulan di mana realitas dan imajinasi bersatu. Setiap gelembung yang pecah mengandung kisah-kisah lama, mengajak jiwanya berlayar menuju keabadian, meresapi makna di balik setiap gelombang yang menggulung. Setelah Sachi terbawa oleh buih air yang berkilau di bawah sinar bulan, seolah jiwanya terserap dalam tarian abadi antara realitas dan mimpi, tiba-tiba ia merasakan desiran halus yang mengarahkannya ke sebuah hutan hujan tropis. Di sana, ketika buih terakhir menghilang, Sachi melihat sosok pria tua, duduk di bawah pepohonan besar dengan satu kaki yang hilang.

        Cahaya bulan membasuh tubuh pria itu, menciptakan bayangan yang melintasi wajahnya yang penuh kebijaksanaan. Angin malam berhembus lembut, membawa bisikan kenangan yang tak terucap. Saat Sachi melangkah mendekat, ia merasakan sesuatu yang berbeda kali ini, seolah-olah pria tua itu bukan sekadar seseorang yang baru ia temui, tapi seseorang yang telah lama ia kenal, mungkin dari tempat yang jauh di dalam dirinya sendiri

        Pria tua tersebut sedang asik dengan kanvas besar penuh warna. Namun, anehnya warna yang dipilih sangat kontras dan tak biasa, langit yang berwarna merah tua, pepohonan yang berwarna biru gelap, dan matahari yang hitam legam. Penasaran ,Sachi mendekati pria tua itu dan bertanya "Mengapa kau melukis langit dan matahari dengan warna seperti itu, Pak?

    Pria itu tersenyum tanpa menoleh, terus melanjutkan goresan kuasnya. "Kau tahu,Nak! Hidup tidak selalu seperti yang kita bayangkan. Tidak selalu biru cerah maupun kuning keemasan. Terkadang, hidup berwarna merah, biru gelap, bahkan hitam sekalipun. Namun, itu tidak masalah. Itu semua bagian dari kehidupan, warna gelap tidak membuat hidup menjadi buruk. Justru, merekalah yang memberikan kedalaman. Membuat kita lebih memahami makna dari setiap warna cerah yang hadir, Sachi terdiam, meresapi kata-kata dari pria tua itu. Pria itu benar. Mungkin, warna gelap dalam hidupnya hingga kesulitan belajar, ketakutan gagal dan tekanan dari sekelilingnya bukanlah hal yang harus dihindari, melainkan dipahami.

       "Hidup ini," lanjut Pria Tua itu "adalah sebuah lukisan besar. Tidak selalu tentang bagaimana kita menggambar lamgit biru tanpa  awan, tetapi tentang bagaimana kita menerima badai yang datang, bagaimana kita merangkul kegelapan yang menghampiri. Tanpa warna-warna itu, lukisan kehidupan kita tidak pernah lengkap," Sachi menjawab Pria Tua itu, "Ta-tapi kenapa...tuhan tidak pernah adil?" Pria tua itu tersenyum lembut, matanya yang penuh kedalaman bertemu dengan pandangan Sachi. "Tuhan tak memberi mu hidup seperti yang Kamu inginkan, karena Kamu juga tak hidup seperti apa yang tuhan inginkan". Pria itu melanjutkan, "Kau sudah melihatnya," kata Pria Tua itu perlahan, suaranya seakan datang dari seluruh penjuru alam, "perjuangan, ketekunan, dan harapan yang tak pernah padam. Apa yang kau cari selama ini ada di dalam setiap langkah yang Kau saksikan." Dalam bayang-bayang pikirann Sachi, sachi membayangkan orang-orang yang ia saksikan baru saja mereka pernah bermimpi, namun mimpi itu tergerus oleh waktu, seperti pasir yang diombang-ambingkan ombak. Apakah mereka berhenti berjuang? Apakah mereka pernah merasakan harapan secerah matahari pagi, hanya untuk melihatnya tenggelam dalam kegelapan malam.

       Ia masih meresapi setiap kata yang diucapkan, begitu sarat dengan makna. Langkah kakinya terasa berat oleh rasa haru, tetapi juga ringan karena ada sesuatu yang mulai ia pahami. Namun, ketika ia melangkah lebih dekat, tanpa sadar kakinya terpeleset. Sachi terjatuh, tubuhnya meluncur cepat ke dalam sebuah lubang yang tersembunyi di bawah rerumputan
   
   Tubuhnya meluncur cepat melewati lapisan gelap, seolah-olah terhisap oleh ruang yang tak berujung. Namun, sebelum ia sepenuhnya terserap ke dalam kegelapan, tiba-tiba pemandangan di bawahnya berubah. Dari ketinggian, Sachi melihat sebuah adegan yang membuat dadanya bergetar,pemuda yang sebelumnya ia temui, kini berdiri di atas pesawat yang telah berhasil ia bangun.

   Meski kakinya masih patah dan luka itu terlihat begitu nyata, sang pemuda tidak berhenti. Dengan sisa tenaga dan tekad yang tak tergoyahkan, ia terus memperbaiki pesawat itu hingga akhirnya siap terbang. Sachi melihatnya menyalakan mesin dengan senyum yang penuh kepuasan di wajahnya. Pesawat itu, yang sebelumnya terlihat mustahil, kini mulai terangkat ke udara, terbang tinggi menuju cakrawala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun