Di era disrupsi yang serba cepat ini, muncul fenomena baru yang kian merasuki kehidupan generasi muda, khususnya Gen Z: hustle culture. Budaya kerja keras tanpa henti ini sering kali dipandang sebagai respons terhadap tuntutan zaman, di mana kompetisi tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya, tempat Gen Z tumbuh dan berkembang. Namun, apakah budaya ini benar-benar membawa manfaat, atau justru menjadi bumerang?
Gen Z dikenal sebagai generasi digital yang dinamis, inovatif, dan berani mengambil risiko. Media sosial menjadi panggung utama mereka untuk menunjukkan produktivitas dan keberhasilan. Tagar seperti #riseandgrind, #nopainnogain, dan #workhardplayhard menghiasi linimasa, mempromosikan gaya hidup yang memuja kerja keras sebagai satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Namun, di balik gemerlap postingan ini, ada cerita lain yang jarang diungkap: kelelahan mental, kehilangan makna, hingga alienasi sosial.
Fenomena hustle culture sejatinya lahir dari kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan besar yang dibawa era disrupsi. Dunia kerja, misalnya, telah berubah secara drastis dengan hadirnya teknologi digital, otomatisasi, dan model bisnis baru. Gen Z menghadapi tantangan untuk tetap relevan, sehingga banyak dari mereka merasa tertekan untuk bekerja lebih keras dan lebih cepat dibanding generasi sebelumnya. Sayangnya, budaya ini sering kali mengabaikan pentingnya keseimbangan hidup.
Ketidakseimbangan Antara Ambisi dan Kesejahteraan
Hustle culture mengajarkan bahwa tidak ada batasan antara kerja dan waktu pribadi. Istirahat sering kali dipandang sebagai bentuk kemalasan, sementara produktivitas menjadi indikator utama nilai diri seseorang. Hal ini menyebabkan banyak Gen Z mengalami burnout, yang tidak hanya berdampak pada kesehatan mental mereka, tetapi juga merusak hubungan sosial dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Menurut sebuah survei oleh Deloitte, hampir 50% Gen Z melaporkan mengalami stres yang signifikan akibat tekanan pekerjaan dan finansial. Mereka tidak hanya merasa terjebak dalam lingkaran produktivitas, tetapi juga merasa harus terus berkompetisi di tengah lingkungan yang serba cepat dan tidak pasti.
Memaknai Ulang Kesuksesan di Era Modern
Di tengah maraknya hustle culture, penting bagi Gen Z untuk memaknai ulang arti kesuksesan. Kesuksesan bukan sekadar tentang pencapaian materi atau pengakuan sosial, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menemukan kebahagiaan, kesehatan, dan hubungan yang bermakna. Budaya kerja keras memang tidak salah, tetapi harus diimbangi dengan kesadaran untuk merawat diri sendiri dan orang-orang di sekitar.
Organisasi dan institusi pendidikan juga memegang peran penting dalam membentuk pola pikir ini. Dengan menyediakan ruang diskusi, pelatihan manajemen stres, dan kebijakan kerja yang mendukung keseimbangan hidup, mereka dapat membantu generasi muda mengelola tuntutan era disrupsi tanpa kehilangan jati diri.
Pada akhirnya, hustle culture mungkin adalah fenomena yang tak terhindarkan di era disrupsi. Namun, Gen Z memiliki peluang untuk menciptakan paradigma baru---budaya kerja yang lebih inklusif, seimbang, dan manusiawi. Karena di balik segala tuntutan, generasi ini memiliki potensi besar untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga membangun dunia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H