Mohon tunggu...
M Arifin Ilham
M Arifin Ilham Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN GUSDUR PEKALONGAN

BISMILLAH

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Integrasi Keilmuan Sains dan Agama Dalam Pendidikan Islam

4 Desember 2024   21:26 Diperbarui: 4 Desember 2024   21:57 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika diperhatikan, sebagian besar kajian pendidikan Islam yang tersedia cenderung deskriptif, normatif, dan mengadopsi pendekatan tertentu, serta terpengaruh oleh pandangan Barat atau Salaf . Dalam beberapa abad terakhir, tradisi salaf yang telah berusia seribu tahun mengalami kemacetan. Namun demikian, tradisi tersebut memiliki kekayaan intelektual yang melimpah dan sangat maju. Sistem pendidikan Islam telah melahirkan tokoh-tokoh orisinal yang sangat sintetis dan kreatif dalam membangun peradaban Islam (Rahman, 2000: 83). Asumsi dasar yang terdapat dari fakta historis tersebut adalah bahwa pendidikan Islam memiliki pengalaman yang khusus dalam mengintegrasikan sains dan agama secara organik. Ini disebabkan oleh perbedaan mendasar antara sains pra-modern di Cina, India, dan peradaban Islam dengan sains modern, termasuk tujuan, metodologi, sumber inspirasi, serta asumsi filosofis mereka tentang manusia, pengetahuan, dan alam semesta (Bakar, 1994: 73).

            Perbedaan mendasar inilah yang menyebabkan kompleksitas yang unik, karena pendidikan baru dalam Islam mengadopsi dari entitas hidup di Barat yang memiliki latar belakang budaya, struktur internal, dan konsistensi yang berbeda (Rahman, 2000: 83). Meskipun pendidikan Islam di masa lalu pernah berhasil mengadopsi filsafat dan sains Yunani dengan menggunakan terminologi sendiri, namun saat ini pendidikan Islam menghadapi tantangan yang tidak menguntungkan dalam menghadapi sains-sains Barat modern. Hal ini disebabkan oleh dominasi politik, agresi ekonomi dan hegemoni intelektual Barat yang berpengaruh secara psikologis maupun intelektual.

            Kaitannya dengan integrasi agama dan sains, yang dibutuhkan pendidikan Islam saat ini adalah sistem pendidikan dengan sebutan Interdisplin Sains dalam Islam (Interdiscipline Sciences in Islam). Paradigma integratif yang dimaksudkan di sini harus diterapkan pada era modern saat ini, sebagai prototipe sebuah peradaban yang baru dan akan menggeser peradaban saat ini yang sedang mengalami krisis berdasarkan berbagai indikator fisik dan non-fisik. Melalui sistem pendidikan yang baru, kurikulum harus memadukan nilai-nilai wahyu dan sains. Hal ini diharapkan agar para lulusan dari lembaga pendidikan Islam dapat mengintegrasikan kaedah-kaedah sains dan agama dalam cara berfikir dan tingkah laku (akhlaq) secara menyeluruh dan terpadu di masyarakat, sehingga pada masa depan tercipta tatanan masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, di masa depan, pendidikan Islam harus memberi prioritas pada materi pembelajaran yang dapat membantu menciptakan ilmuwan, teknolog, insinyur, dan profesional lainnya yang memiliki peran dan kontribusi penting dalam kemajuan ekonomi. Dengan kata lain, pendidikan Islam sekarang bukan lagi menjadi ilmu yang terpisah dan eksklusif, melainkan menjadi ilmu yang tanggap terhadap berbagai permasalahan aktual yang ada (Arif, 2008: 255).

            Pendidikan Islam harus terintegrasi secara erat dengan dimensi praksis-sosial, karena memiliki dampak sosial yang signifikan dan harus mampu merespons realitas sosial yang ada. Hal ini dilakukan agar pendidikan Islam tidak hanya terfokus pada aspek pemikiran teoretis-konseptual semata seperti yang telah dipahami sebelumnya (Abdullah, 2000: 1). Dengan menggunakan paradigma integratif, kesenjangan yang signifikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama dapat diatasi. Meskipun madrasah merupakan bentuk reformasi sistem pendidikan Islam yang sejalan dengan kurun modern, namun masih mengalami tantangan dalam hal institusional-keilmuan dan metodologis. Oleh karena itu, institusi ini belum mampu mengatasi sepenuhnya masalah dualisme keilmuan yang dikotomis, masalah fungsional "cagar budaya", dan dominasi metodologi yang bersifat justifikatif-indoktrinatif dalam kegiatan akademik (Arif, 2008: 264).

            Sedangkan implikasi di dalam proses belajar mengajar, di mana salah satu gagasan menarik dari Ian G. Barbour, mengenai peranan penting imajinasi kreatif sebagai metode alternatif selain metode deduktif dan induktif, karena dalam perumusan teori, imajinasi kreatif melampaui proses penalaran yang sangat logis (Barbour, 2006: 197).

            Banyak fenomena yang menunjukkan bahwa guru-guru tertentu dengan imajinasi kreatif yang mereka miliki dapat menciptakan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk menyerap pelajaran secara cepat dan lengkap. Selain itu, guru juga berperan penting dalam menciptakan desain pembelajaran yang aplikatif, contohnya dengan mengubah tata ruang dan menambahkan tampilan pada ruang kelas agar dapat merangsang minat belajar siswa. Semua hal tersebut memerlukan kreativitas dari seorang guru agar proses belajar mengajar menjadi lebih efektif.

            Dalam kata lain, siswa dapat diajak untuk mencari simbol-simbol harmonisasi yang terdapat di alam semesta dan menginterpretasikannya menjadi model integrasi antara sains dan agama. Sebagai contoh, dalam studi holtikultura, siswa dapat dilatih untuk menggunakan imajinasi kreatif mereka dengan menjelaskan model bunga matahari sebagai representasi integrasi antara berbagai budaya, mitologi, ilmu pengetahuan, pendekatan spiritual, dan filosofi yang terpusat pada kepala bunga. Siswa juga diajak untuk memahami bahwa pengalaman manusia adalah dasar dari model dan sistem pemikiran yang terbentuk di dalam kelopak bunga, dan bahwa ilmu pengetahuan dan agama dapat bekerja sama untuk mencapai pemahaman yang lebih kaya tentang dunia kita. Dalam kegiatan lapangan dan bermain, siswa dapat belajar bagaimana mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama, dan memahami bahwa setiap model integrasi harus mencerminkan realitas, bukan hanya ikatan-ikatan teoretis. Hal ini akan membantu siswa untuk memahami bahwa ilmu pengetahuan dan agama dapat tumbuh bersama-sama dan beradaptasi dengan satu sama lain.

            Paradigma integratif dalam konteks keilmuan antara transmitted knowledges dan acquired knowledges diharapkan dapat menciptakan atmosfer akademik yang holistik dan tidak parsial. Dengan demikian, spesialisasi dalam bidang tertentu tidak mengakibatkan terbentuknya wawasan yang sempit, dan jangkauan pengetahuan tidak hanya terbatas pada fakta atau pengenalan finalitas yang bersifat imanen. Melalui integrasi sains dan teknologi, pendidikan Islam dapat berimplikasi pada kurikulum, proses belajar mengajar, dan aspek pendidikan sosial keagamaan. Para peserta didik akan diajak untuk berfikir holistik dan tidak parsial dalam menghayati majemuknya keyakinan dan keberagamaan, sehingga menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan dalam beragama. Guru-guru juga memiliki peranan penting dalam mengembangkan imajinasi kreatif untuk menciptakan metode-metode tertentu agar siswanya bisa menyerap pelajaran secara cepat dan lengkap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun