Mohon tunggu...
Arifin Cahyadi
Arifin Cahyadi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Iming-iming Indahnya Demokrasi dengan Otoda

20 April 2015   21:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Otoda atau otonomi daerah dapat dilihat sebagai turunan demokrasi dari demokrasi lokal. Demokrasi melalui otonomi daerah telah memberikan atau mengiming-imingi keindahan bagi masyarakat lokal atau daerah, diantaranya adalah untuk membuka peluang masyarakat daerah merubah dirinya menjadi lebih sejahtera, untuk memperjuangkan aspirasi-aspirasinya, dan memajukan berbagai aspek-aspek lokal seperti ekonomi, politik, dan tentunya budaya lokal.

Otonomi daerah yang lahir di tengah gejolak sosial yang sangat massif di tahun 1999 ini, lahir dengan harapan menjawab permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia pusat dan daerah yang dianggap sudah usang dan perlu diganti ini, namun dalam kenyataanya hanya secerca iming-iming saja untuk masyarakat lokal atau daerah.

Realitas Otoda

Sejak lahirya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, kemudian digantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, hingga muncul Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, “Apakah betul rakyat di daerah sudah menikmati otonomi diberbagai bidang? Ataukah keuntungan hanya untuk para elit saja?  Sebenarnya kemakmuran rakyat ditingkat lokal ini sekedar klaim, atau memang menjadi tujuan politik? Aktor-aktor? Atau kepentingan aktor?” Nyatanya yang pertama, menurut survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun 2012 sebanyak 446 daerah atau 91 persen kabupaten dan kota tak mandiri fiskal. Pendapatan asli daerahnya masih kurang dari 20 persen terhadap total pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, seperti Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat di Kalimantan Timur, dan Kabupaten Badung di Bali.

Bahkan yang kedua, rakyat belum bisa sepenuhnya menikmati air untuk kebutuhan hidup meraka, karena masih banyak dikuasai swasta. Terbukti dengan sempat munculnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Undang-Undang ini dinilai terlalu berpihak kepada pemilik modal saja, mengabaikan pemenuhan hak-hak warga negara, dan akan menyebabkan negara gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi warga negaranya.

Kemudian yang ketiga, masih tingginya angka kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan masih banyak penduduk begizi buruk. Hal ini dapat dilihat di daerah Papua sana yang notabennya sudah diberikan Otonomi Khusus dengan diberikannya kucurun dana APBD yang sangat besar, mencapai Rp 5,284 triliun untuk Papua dan Rp 2,751 triliun untuk Papua Barat (APBD 2010), namun kenyataannya  angka kemiskinan di Papua masih mencapai 37 persen, penduduk yang tidak sekolah mencapai lebih dari 50 pesen, dan penduduk yang bergizi buruk mencapai 30 persen.

Elit berkepentingan

Tampaknya melihat kenyataan tersebut akan muncul beberapa nada kritis yang perlu dicermati pemerintah. Pertama, dari berbagai macam Undang-Undang yang ada merupakan rekognisi dan politik akomodasi pada lokal atau daerah saja. Pada dasarnya pusat masih ingin menguasai daerah walaupun tidak semuanya, meskipun secara tertulis dalam Undang-Undang daerah diberikan wewenang, namun realitasnya tidak berjalan, karena hanya ada fungsi saja tidak ada struktur dan anggaran untuk menjalankan fungsi tersebut.

Kedua, daerah diberi wewenang itu karena masalah teknis saja dan pemberontakan, bukan karena niatan (yuridis). Seperti gerakan OPM yang terjadi di Papua sana. Papua diberikan otonomi khusus itu bukan karena kebaikan elit, tapi karena politik rasional, pertimbangan rasional, dan persoalan keamanan di daerah.

Ketiga, dibalik kata otonomi daerah menyimpan maksud reformasi, namun justru reformasi dibajak oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Rakyat tidak otomatis menikmati otonomi tersebut karena adanya aktor yang membajak otonomi daerah, karena tersedianya instrument Undang-Undang yang dibuat oleh DPR yang tidak sesuai dengan gagasan misi daerah.

Melihat hal tersebut, dari demokrasi, turun ke demokrasi lokal, dan politik lokal sesungguhya merupakan tarik menarik berbagai kepentingan saja, dan otonomi datang  bukan karena pertimbangan dari hati namun hanya pertimbangan rasional dari pusat.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kebijakan otonomi daerah, hanya saja pelaksanaanya dan aktor yang berkepentingan tadi yang membuat otonomi daerah menjadi tertatih-tatih. Mungkin dengan memperkuat sistemnya (kelembagaan, Undang-Undang, SDM, dan Kultur) serta menyatukan seluruh elemen demokrasi untuk mengubah keadaan, maka akan terciptalah pembangunan yang merata, masyarakat yang lebih sejahtera, adil, dan makmur. Karena pada dasarnya demokrasi tidak menjamin sebuah keindahan, melainkan hanya memberikan sebuah kesempatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun