Sorot matahari seputar kompleks Gedung Suara Surabaya Center pada Minggu (23/4/2023) mulai condong ke barat. Kumandang waktu shalat Asar baru saja berlalu.
Tiga mobil memasuki areal parkir gedung SSC yang berada di Jalan Raya Bukit Darmo Surabaya itu. Penumpangnya turun. Saya mengira, mereka adalah tamu yang menjadi nara sumber Radio Suara Surabaya (SS). Ternyata bukan.
Mereka terdiri dari tiga kelompok. Tamu pertama menuju sudut di belakang pos penerima tamu. Disana ada kios penjual durian montong. Setelah memilih beberapa buah, dia membawanya pulang.
Tamu kedua, terdiri empat remaja. Dua orang turun. Setelah beberapa kali memilih, ada dua buah yang dibelah. Satu disantap di meja yang tersedia, satu lagi dibawa ke mobil. Dua remaja lainnya memakan di dalam mobil.
Tamu ketiga: seorang nenek. Berjalan menggunakan alat bantu tongkat, dia mengajak serta dua anak dan dua cucu.
"Kita orang sering hunting (baca: berburu) durian ke banyak tempat. Mendengar di radio SS membuka stan durian, maka kemarilah saya," tutur peremuan baya ini.
Saya datang ke SSC sebenarnya atas undangan kawan-kawan penyiar. Mereka mengajaknya pada hari-hari terakhir puasa bulan Ramadan.
Bahkan Mbak Aini Kusuma mengirim foto "pesta durian" ketika saya Iktikaf di masjid, Kamis (20/4/2023) dini hari.
"Durian di SS. Jangan lupa bawa box. Enak. Pilih, beli lalu masukkan box," katanya.
"Montong dan Bawor," tambah Mbak Aini memperjelas jenis durian yang dijual.
Menyentuh publik
Sepanjang perjalanan menuju SSC terlintas memori ketika pertama kali membangun gedung tersebut. Tahun 2009 pemancangan tiang gedung itu dimulai. Saya ikut datang, lantaran saya sedang menulis buku kisah mengelola Radio SS.
CEO Sutojo Soekomihardjo dan Direktur Operasional Errol Jonathans hanya ditemani beberapa karyawan dan penyiar. Saya sempat bertanya, apakah gedung ini nantinya akan menggantikan studio di Jalan Wonokitri Besar -yang sempit itu?
"Tidak sekadar itu," jawab Mas Tojo -sapaan akrab Soetojo Soekomihardjo.
"Kami punya cita-cita, kelak SS punya gedung representatif yang bisa digunakan oleh masyarakat luas," tambah Errol.
Pesan petinggi Radio SS itu kemudian saya terjemahkan dalam sebuah tulisan di dalam buku SUARA SURABAYA BUKAN RADIO. Visi masa depan!
Radio SS bukan hanya satu korporasi. Namun sudah menjadi sebuah merek masa depan. Masa depan adalah soal merancang produk untuk memenuhi banyak orang yang dengan sukarela mendukungnya.
Radio SS sudah terlanjur menciptakan dan memiliki jenis perusahaan atau merek yang sangat khusus. Sesuatu yang tactile -yaitu sesuatu yang dapat disentuh. Masa depan yang dapat disentuh!
Merek yang tactile atau dapat disentuh. Menyentuh atau merasakan hal-hal dengan mamahami cara menjangkaunya. Korporasi dan para ahli di Radio SS membuat perkiraan, merasakan, menyentuh dan melihat dunia di sekitar kita sedang bergeser. Beralih dengan cara yang menarik, terukur, emosional, dan nyata.
Ide-ide cemerlang muncul, sering tak terduga. Masyarakat luas -utamanya pelaku industri media massa, kemudian meyakini Radio SS menjadi pelopor konvergensi radio. Sampai sekarang!
Siaran SS sudah mengglobal melalui fasilitas radio online. Aplikasi ini melahirkan radio on demand -dukomentasi auditif yang bisa kembali diakses sewaktu-waktu.
Seluruh aktivitas kru SS dapat dilihat. Wajah penyiar tidak lagi tersembunyi seperti zaman dahulu. Sekarang bisa dilihat.
Bagi Radio SS inilah “suratan takdir” bahwa gedung SSC ajang tempat promosi. Produk otomotif, dan aneka produk lainnya. Bahkan gedung SSC juga jadi tempat vaksin Covid-19 untuk masyarakat umum.
Nah, sekarang kejadian. Di gedung SSC masyarakat luas bisa menikmati rasa durian. Satugagasan yang jauh hari dikemas dengan apa yang disebut: tactile atau bisa disentuh. Sekarang malah bisa dirasakan!
Mas Tojo dan Mas Errol sudah pergi menghadap Ilahi. Karya dan ide-ide besar dilanjutkan para penerusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H