Kampus Akademi Wartawan Surabaya (AWS) dan Sekolah Asisten Apoteker (SAA) berada di satu komplek. Menempati bangunan tua peninggalan lama di Jl. Kapasari 3-5. Surabaya.
Gedung tersebut menurut cerita diambil alih pemerintah Indonesia setelah ditinggal pemiliknya pasca peristiwa G 30S PKI. Arsitek etnis China sangat jelas membekas. Ada dua patung singa berada persis di pintu masuk utama. Menghadap ke timur.
Para pelajar SAA -yang kebetulan banyak cewek warga Tionghoa, saling berinteraksi dengan mahasiswa AWS. Bahkan diantaranya, saya amati ada yang memiliki hubungan spesial. Tiap hari saling berjumpa. Wajar jika mereka menjalin asmara.
Kampus AWS dan sekolah tingkat menengah atas itu di sekitarnya merupakan daerah padat. Kebetulan pula sebagian besar penduduknya orang Tionghoa. Misalnya, kawasan Jalan Jagalan, Kalianyar, Kapasari Pedukuhan, Ngaglik, Tambakrejo atau Lawang Seketeng.
Mahasiswa AWS banyak indekos di daerah tersebut. Sedangkan murid-murid SAA, rumahnya juga tidak jauh dari Kapasari. Mereka sangat rukun sebab sudah saling kenal. Saya kira bagian dari akulturasi budaya yang alami.
Tempat tinggal saya di Jl. Tambakrejo, jadi kalau ke kampus cukup jalan kaki. Karena terbiasa melintasi pemukiman tadi lama-lama dapat menebak. Apakah penghuni sebuah rumah itu orang Tionghoa atau bukan yang lazim disebut rumah milik orang Jawa, atau disebut pribumi.
Caranya bagaimana? Begini. Pada saat di rumah tersebut sedang ada orang mandi, simak baik-baik. Kalau selesai mandi kedengaran suara mengibaskan handuk, berarti rumah itu milik pribumi. Tetapi jika setelah mandi terdengar keras suara seperti hendak mengeluarkan dahak.....tandanya itu rumah orang Tionghoa!
Kehidupan berbaur dengan orang Tionghoa, membuat saya hafal bahasa mereka. Misalnya bilangan 1 sampai 9. Angka penunjuk waktu. Bisa juga menyebut hari senin hingga minggu.
Tetangga saya -yang sebagian besar orang Tionghoa itu, Â jika Idul Fitri ikut unjung-unjung (silaturahim). Mendatangi warga yang merayakan lebaran. Sebaliknya ketika orang Tionghoa merayakan Imlek, penduduk lain adakalanya datang.
Jika menyuguhkan makanan, tetangga Tionghoa selalu bilang, "Buk kuatir, ini makanan tanpa babi". Maksudnya makanan yang disajikan dijamin halal. Saya belajar pola budaya secara natural. Tidak ada sangkut pautnya dengan ritual keagamaan. Sama-sama pegang keyakinan.
Tahun 2001, saya DLK (Dinas Luar Kota) ke Jakarta. Biasanya jalanan ramai, kali ini lalu lintas terasa lengang. Sopir taksi pun heran kenapa tiba-tiba lancar. Ternyata hari itu bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek dan mulai pertama diberlakukan libur secara fakultatif oleh Presiden Abdurahman Wahid.
Ada toko yang buka, ada pula toko tutup, termasuk sebuah pujasera lantai bawah komplek Mangga Dua -yang di hari biasa, cari tempat duduk saja sulit. Pemilik depot (orang Tionghoa) hafal kebiasaan saya memesan mie pangsit dan minumnya es cincau hitam.
Sebelum menuju ke stasiun Gambir, saya sangat menikmati sepinya Ibu Kota Jakarta.
                                                             ***
Peringatan Tahun Baru Imlek 2573 tepat pada 1 Februari 2022. Berdekatan dengan HUT ke-76 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Hari Pers Nasional (HPN), tanggal 9 Februari 2022.
Dalam literatur-literatur perjuangan bangsa Indonesia, terdapat fakta bahwa para insan pers, termasuk keterbukaan di era reformasi sejak 1998 membuat budaya Tionghoa tampil lagi.
Liku-liku suratkabar lokal Surabaya, juga tak bisa lepas dari warga etnis Tionghoa. Harian pagi Jawa Pos di Kembang Jepun, Surabaya mempunyai jurnalis Tionghoa. Semisal senior saya Mas Djoni Budimartono, atau Mas Johny Purbono.
Di Harian Sore Surabaya Post ada Mas Waluyo. Sementara itu Majalah Liberty ada nama Slamet indra Santosa dan Saudari Bicky Hananta.
Sekitar tahun 1980-an, saya berteman dengan Saudari Nany Wijaya ketika liputan di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Tatkala saya aktif dalam pengurus Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Jawa Timur ada nama Jacob Hendrawan. Dan, di luar yang saya sebutkan tentu masih banyak lagi.
Pendek kata, agak sulit memisahkan kehidupan sosial Tionghoa dengan kegiatan jurnalistik. Hubungan insan pers (Tionghoa) dengan budaya nasional dapat dilihat melalui fungsi-fungsi yang dijalankan.
Akademi Wartawan Surabaya didirikan pada 11 November 1964. Selaras dengan tuntutan dan kebutuhan zaman, lembaga pendidikan tinggi ini paada tahun 1985 berubah status menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa atau Stikosa-AWS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H