Ibnu Athaillah mengajak pembaca untuk bangkit dari ketidaksadaran. Menapak jalan menuju Tuhan. Ibadah yang kita jalani, tulisnya di kitab klasik yang diterbitkan oleh penerbit 'Zaman' tersebut, tak lagi membebani. Tapi menenangkan dan menyenangkan.
Pada halaman 384, dibicarakan tentang hikmah. Kata Ibnu Athaillah, "Hikmah laksana tali pengikat. Jika dipakai untuk mengikat diri, maka diri kita pasti terkendali. Namun, jika dicampakkan, diri kita akan menjadi liar. Dan mencemaskan."
Hikmah, sesuatu yang mencegah kita dari perbuatan buruk dan bodoh. Bersungguh-sungguhlah melakukan amal kebaikan. Hikmah merupakan kumpulan kebaikan yang akan mendorong pemiliknya untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Orang yang diberi hikmah dalam bertindak akan menebar kebaikan kepada semua orang. Hikmah selalu bersesuaian dengan tatananan akhlak yang terpuji dan ketaatan kepada Allah.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki hikmah lebih banyak mendatangkan keburukan daripada kebaikan. Ia membiarkan dirinya melakukan berbagai tindakan keliru tanpa memperhitungkan akibat dan hasilnya.
Seutas Tali
Soal tali, saya punya cerita. Sebelum menjadi presiden Amerika Serikat ke-34, Jenderal D. Eisenhower adalah komandan militer. Ia paling suka memberi motivasi kepada para perwiranya. Dengan contoh yang gamblang.
Jenderal Eisenhower meletakkan seutas tali di lantai. Dia kemudian berdiri di belakang tali, sambil mempertunjukkan sedang mendorong tali secara paksa. Seutas tali tersebut tidak ke mana-mana. Seolah-olah enggan menurut perintah sang jenderal.
Sesudah itu Jenderal Eisenhower berpindah ke depan tali. Ia menarik talinya. Dan tali itu ikut dengan taat ke mana pun jenderal pergi. Pelajaran dalam motivasi ini sangat jelas: kita harus menarik. Bukan memaksa. Memaksa orang lain, dengan gerakan apa pun akan menimbulkan gesekan.
Sebaliknya, jika Anda menarik tali "secara tepat", maka sama halnya Anda akan mendapatkan hasil baik. Jadi jangan memaksa dari belakang. Tariklah dari depan