Mohon tunggu...
Arifin BeHa
Arifin BeHa Mohon Tunggu... Penulis - Wartawan senior tinggal di Surabaya

Wartawan senior tinggal di Surabaya. Dan penulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Memetik "Buah" Pilpres 2019

14 April 2019   20:08 Diperbarui: 15 April 2019   07:24 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang belum punya harus mengejar saya...."

Pada saat berakhirnya lagu tersebut, dua anak yang membentangkan tangan tadi menangkap peserta barisan. Suka-suka dia, hendak menangkap siapa. Yang terkena, giliran dia menjadi gawangnya.

Saya mengibaratkan dua anak yang mengangkat tangan itu sebagai kelompok "pembagi rezeki". Sementara itu barisan anak yang lewat merupakan "pengumpan doa". Doa yang menyalip atau lewat di terowongan, kapan saja bisa tertangkap. Alias terkabulkan.

Iblis pun tertawa

Mendekati hari H, seperti semua tahu terjadi perang kata. Perang data yang -Masya Allah disertai cacian. Saling menyerang. Bertubi-tubi. Bertiup seperti angin kencang. Pesan antar WA, twitter, Facebook, semakin seru. Media sosial berkicau tiada henti. Pilihannya. Jagoannya. Kandidatnya. Bukan hanya harus menang. Tapi wajib menang.

Para pendukung Capres dan Cawapres sibuk. Mentalitas mereka tak ubahnya seperti sebuah mesin. Tak henti-hentinya memproduksi kebohongan. Setiap saat menjadi amunisi perang. Oper-operan dari gadget satu pindah ke gadget lain. Tak ada tersirat sedikit tentang dosa. 

Penanggung jawab Majalah "Basis" Yogyakarta, Sindhunata, menulis bohong memang mudah muncul, apalagi dalam situasi politik yang kacau. Bohong sudah menjadi normalitasnya. Bahkan, tulis Romo Sindhu, tak seorang pun menganggap politik bisa bertanggung jawab terhadap kebenaran.

Maklum politik bukan untuk mengungkap kenyataan. Tetapi untuk mengubah kenyataan. Untuk itu tak ada yang efisien selain kebohongan. Tak heran, meski diliputi keraguan, pemilih tetap menganggap politikus panutannya sebagai kesungguhannya. Sementara si politikus pantang menyerah memperjuangkan agenda kebohongan.

Kalau ada jargon, kita beda pilihan namun tetap bersaudara, hanya basa-basi. Tidak lebih tidak kurang, sekadar manis di bibir. Yang semula netral, akhirnya batal. Yang tadinya non partisan, ujung-ujungnya ikutan. Dugaan saya tak meleset. Persis seperti apa yang pernah sampaikan kepada teman muda saya.

Ada yang megusik saya. "Mas Jurnalis, kapan menulis Pilpres?" Jawaban saya berbelok ke lain topik. Kalau pun berkomentar, ala kadarnya. Terus terang, saya lebih cenderung menulis kutipan. Sumbernya jelas. Paling tidak, menurut saya, dapat menyuguhkan suasana baru.  

Salah satu wartawan senior, menulis di Grup WA: "Ada orang memilih karena ikut bosnya. Ikut istri atau suaminya. Ikut kelompoknya. Ikut jemaahnya. Dan, ikut iblis pun ya boleh2 aja..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun