Sayup-sayup suara pemandu wisata Manaya Indonesia membangunkan tidur saya. "Kita sudah sampai di Benteng Salahuddin dan Masjid Ali Pasha," seru Barry "Mohamad" Prima, nama guide itu.
Tembok benteng Salahuddin Al-Ayyubi tersusun dari bebatuan disapu sinar matahari pagi memantulkan cahaya keemasan. Udara Benteng cukup segar. Konon ceritanya, pemilihan lokasi ini dilakukan dengan cara menebar daging ke seluruh penjuru kota Kairo, termasuk di Bukit Muqattam. Hasilnya daging yang berada di kawasan bukit tersebut bertaham lebih lama dibandingkan tempat lainnya.
Pengunjung Benteng sangat beragam dari agama dan bangsa yang berbeda. Sepanjang menaiki benteng saya menjumpai anak usia remaja sampai orang tua. Pakaian pun beragam menandakan mereka dari kalangan mana.
Saat turun rombongan kami berpapasan anak-anak usia sekolah. Mereka minta foto bersama. Anak-anak ini mendapat tugas dari sekolah agar menjumpai tamu benteng atau turis asing dan mengajak foto bersama sebagai tanda bukti. Bertepatan dengan hari Jumat (2/3/2018), dimana merupakan hari libur sekolah.
Benteng ini sungguh menarik dijadikan inspirasi bagi dunia pariwisata kita -Indonesia. Mengunjungi Benteng Salahuddin Al-Ayyubi ibarat disuguhi fakta bersejarah. Meskipun menurut saya begitu sederhana, tetapi mampu menampilkan dongeng yang bertutur tentang riwayat masa lalu. Justru kesederhaan itu berhasil menggugah kekuatan kekinian dengan menggaungkan persoalan toleransi dan harmoni. Kita punya banyak benteng dan petilasan sejarah....
Tulisan terkait, "Sejarah Mesir Terus Mengalir"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H