Ho Chi Minh City -Vietnam, Â selama satu minggu (30 Juli 2017 -- 5 Agustus 2017) setiap hari diguyur hujan. Udara dingin membuat 16 orang dari 10 negara yang sedang mengikuti workshop "News Literacy" merasa nyaman. Dua orang peserta berasal dari Indonesia.
Belum banyak negara yang menerapkan kurikulum news literacy, termasuk Indonesia. Bahkan University of Social Sciences and Humanities Vietnam National tempat workshop berlangsung harus melakukan kerja sama dengan The University of Hongkong dan Stony Brook, Long Island, New York --Amerika Serikat.
News literacy terjemahan lepasnya adalah usaha untuk mengonseptualisasi metode soal cara mengonsumsi pemberitaan. Untuk itu dibutuhkan pemikiran kritis, sehingga setiap kali membaca atau mengonsumsi pemberitaan yang ada di media sudah terbekali dengan keputusan yang penuh informasi.
Di Indonesia baru mengenal media literasi, atau sering diterjemahkan sebagai melek media. Konsep media literasi itu hanya sampai menyadarkan orang bagaimana memilih atau mengonsumsi media, bukan memilah pemberitaannya. Sedangkan News literacy lebih dalam, menyoal skeptis tentang sebuah berita.
Masyarakat secara umum menganggap setiap pemberitaan itu ansich jurnalisme. Padahal harus juga dimengerti bahwa jurnalisme bersinggungan dengan beberapa 'tetangga' seperti hiburan, promosi, propaganda, dan informasi mentah. Oleh karena itu harus paham cara membedakannya.
Jurnalisme yang baik selalu menerapkan IMVAIN (Independent, Multiple, Verifies, Authoritative, Informed, Named), yang bisa digunakan saat menganalisis sumber berita. Sumbernya independen, terverifikasi, tahu yang sebenarnya dan berwenang menyampaikan informasi. Jika narasumber mau disebut namanya, lebih baik ketimbang yang tidak. Berita dengan sumber yang tidak IMVAIN pasti ada sesuatu di baliknya. Harus diwaspadai.
Bukan hanya soal pemberitaan, tapi juga gambar atau foto. Kadang foto yang dipakai untuk berita tertentu bisa tidak sesuai konteks, dan malah menimbulkan pertanyaan atau konflik baru. Ada beberapa cara untuk menganalisis foto, misalnya dengan First Draft. Perhatikan detail apakah demo orang-orang berhijab tentang Palestina benar-benar terjadi di Palestina, bisa jadi itu protes orang-orang Islam di Perancis.
Sekembalinya ke negara asal Indonesia, Rizky Sekar Afrisia menceritakan ulang kepada ibunya bagaimana ke-seharian workshop. Suasana pembelajaran itu, ada yang duduk sambil menyandarkan punggung, ada pula yang duduk dengan kaki selonjor. Bentuk kelas pun menyesuaikan situasi. Dari semula duduk di kursi bisa berpindah "ngelempoh" (Jawa: duduk) di lantai bawah.
Namun demikian seluruhnya terus menyimak, sebab untuk berkesempatan bisa ikut workshop para peserta melewati berbagai tahapan tes. Tidak hanya kemampuan berbahasa asing, namun juga sejauh mana minat peserta untuk ikut menyebarkan ke masyarakat luas. Dalam jangka panjang masyarakat diharapkan terbiasa "menyaring" informasi, apakah produk jurnalistik atau berita bohong. News literacy menjadi sebuah kebiasaan.
Pelajaran yang bisa dipetik selama workshop ada banyak cara mendeteksi berita bohong atau tidak. Sebaliknya ada banyak cara membuat berita hoax, termasuk membuat foto editan. Pesan serius disampaikan Rizky Sekar Afrisia, andaikata ada banyak lembaga pendidikan di Indonesia ikut menyebarkan news literacy, maka hasilnya masyarakat akan semakin kritis. Masyarakat menjadi lebih bijak menghadapi maraknya media sosial.
Melalui situs jejaring sosial Facebook, Twitter, Instagram, dan Whatsapp masyarakat saling berbagi tautan dan konten tanpa mengecek kebenarannya  terlebih dahulu. Selain membingungkan hal itu berpontensi memicu konflik sosial.