Iklan, promosi, dan sponsor rokok di banyak daerah terus menghujani anak dan remaja meski regulasi kawasan tanpa rokok telah banyak bermunculan. Hasil pemantauan Forum Anak di 10 kota menunjukkan, terdapat 2.868 iklan, promosi, dan sponsor rokok yang memapar anak dan remaja.
Tempat-tempat yang menjadi lokasi pemantauan adalah jalan menuju sekolah, tempat les atau kursus, tempat berkumpul anak dan remaja, tempat ibadah, pusat perbelanjaan, dan tempat lain yang biasa didatangi anak-anak dan remaja. Pemantauan dilakukan pada periode 25 Mei-3 Juni 2017.
Ketika memaparkan hasil pemantauan tersebut di Jakarta, Jumat (18/8), Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari menilai, hasil pemantauan Forum Anak di 10 kota menunjukkan betapa anak dan remaja tetap terpapar iklan, promosi, dan sponsor rokok saat berada di tempat-tempat mereka biasa berkumpul. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengancam bonus demografi dan upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Berbagai studi menunjukkan, paparan iklan, promosi, dan sponsor rokok pada anak dan remaja memengaruhi mereka untuk mencoba rokok. Akibatnya, prevalensi perokok pemula tetap tinggi. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 memperlihatkan, sekitar 75 persen perokok mulai merokok sebelum usia 19 tahun. Usia merokok pertama kali yang paling tinggi adalah pada kelompok umur 15-19 tahun. (Harian Kompas, Sabtu 19/8/2017).
Terpisah, Emil Salim -mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup-, Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia pernah menulis, di tengah kelesuan usaha ekonomi sekarang, usaha bisnis rokok mencatat keuntungan besar. Perusahaan rokok Djarum kuartal III-2016 mencatat pertumbuhan laba sebesar 13,16 persen, sedangkan perusahaan rokok Gudang Garam meraih laba 12,06 persen.
Pabrik rokok HM Sampoerna/Philip Morris dan Bentoel/British American Tobacco (2015) menanam investasi baru sebesar 1,9 miliar dollar AS (HM Sampoerna/Philip Morris) dan 1 miliar dollar AS (Bentoel/British American Tobacco). Keempat perusahaan ini tahun 2013 berhasil menguasai 80 persen pangsa pasar rokok Indonesia. Makin jelas betapa "cemerlangnya" masa depan industri rokok di Indonesia.
Industri rokok berkepentingan merekrut perokok pemula di bawah 20 tahun sebesar 77 persen laki-laki dan 40 persen perempuan untuk menggantikan perokok dewasa di atas 20 tahun yang jumlah perokoknya tak sampai 23 persen laki-laki dan 59 persen perempuan. Tanpa perokok dini, industri rokok tidak bisa berlanjut jika hanya mengandalkan perokok usia dewasa.
Perlu diingat, Indonesia sedang menghadapi bonus demografi pada 2015-2040 sehingga berpotensi menghasilkan generasi emas penuh elan dan vitalitas untuk membawa Indonesia ke gerbang lepas landas selambat-lambatnya di tahun 2045. Generasi emas ini hanya bisa berhasil memimpin Indonesia apabila mutu kualitasnya mencapai puncak. Karena itu, secara mutlak perlu diusahakan agar generasi muda terlepas dari ancaman nikotin rokok.
Iklan rokok di televisi
Beberapa waktu lalu salah seorang kawan, A. Sapto Anggoro -lewat WhatsApp Group- menulis pesan sekaligus meminta feedback, "Hari ini saya menjadi pembicara diskusi, temanya tentang tarik ulur iklan rokok di televisi. Saya mewakili lembaga riset iklan tivi yang saya bikin. Setujukah iklan rokok di tv dihapus total?"
Aktivitas jaringan informasi di grup Keluarga AWS/STIKOSA seketika menjadi ramai. Satu sama lain saling memberi masukan dengan penuh semangat mengantarkan argumentasi. Serius tapi juga lucu.
Pemerintah dan DPR tengah membahas RUU tentang pengaturan peredaran tembakau, termasuk rokok dan zat adiktif. Salah satunya memasukkan pelarangan promosi untuk iklan rokok secara total di televisi. Selama ini iklan rokok di televisi sudah diatur dalam PP 109/2012, pasal 29 yang mengatur jam tayang pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00.
"Jika larangan iklan rokok di tivi dieksekusi akan muncul dampak lain" kata Sapto Anggoro alumni Stikosa/AWS 1984.
Artinya, selain mengurangi pendapatan pihak televise, maka iklan rokok bakal mencari jalannya sendiri, yakni beriklan secara offline, cetak media dan online media yang lebih menjanjikan dengan cost relatif efisien. Alih alih mengurangi bahaya kesehatan di balik isu rokok, promosi offline bisa tak terkontrol bagi usia remaja awal.
Bulan Agustus 2017, tahun ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia. Mengenang jasa pahlawan jangan cuma sekadar mengibarkan bendera Merah Putih di mana-mana. Semangat perjuangan harus bergeser, misalnya mencegah pengaruh iklan rokok. Jangan biarkan anak dan remaja terkapar!
#Terpapar, di bidang kesehatan artinya Terjangkit. Memapar=Menjangkit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H