Angin sejuk berhembus di kaki Gunung Penanggungan Jawa Timur. Puluhan murid sekolah Yayasan Yohanes Gabriel berbondong-bondong menuju sebuah rumah di Jl. Kartini Panjer Kaplingan RT 02, RT 1 Mojosari, Mojokerto. Ada yang menenteng buku dan kertas kerja, ada pula yang membawa masker penutup hidung.
Mereka tidak berpakaian seragam resmi, melainkan mengenakan kaos mirip kostum olahraga sekolah. Murid TK berada paling depan, di belakang kemudian menyusul murid SMP dan murid SMA. Wajah ceria penuh semangat, sesekali keluar suara nyanyian menyertai udara yang bertiup sepoi-sepoi.
Untung Subagya (60 tahun) pemilik rumah yang menempati lahan seluas 625 M2 sudah menunggu penuh senyum. Meskipun mengaku tidak terlalu ahli dalam bidang pertanian, Untung Subagyo berhasil "memaksa" siswa sekolah Yohanes Gabriel Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur untuk mengenali bermacam-macam tanaman. Murid-murid ini datang untuk diajari mencintai lingkungan sekaligus mempelajari prinsip-prinsip bercocok tanam.
Untung Subagya sejak tahun 1989 meniti karir di PT Grasindo, sebuah penerbit buku berada satu grup dengan PT Gramedia Jakarta. Pada tahun 1991 Untung menjadi Kepala Perwakilan Grasindo Surabaya, hingga pensiun dini tahun 2009. Meskipun pekerjaannya berada di Surabaya, lelaki kelahiran Salatiga (Jawa Tengah) ini memilih tinggal di kota kecil. Sejak tahun 1994 ia membeli tanah dan membangun rumah di Mojosari.
Perjalanan "pergi-pulang" ini sering menjadi bahan guyonan oleh rekan-rekannya. Mas Untung, demikian dia biasa dipanggil, cuma tersenyun. "Kalau saya jalani dengan senang hati, kalian mau apa?" demikian jawaban setiap kali diledek.
Jika ditarik ke belakang sejak membantu yayasan (2006) berarti sudah sebelas tahun Mas Untung berkecimpung mendalami pola cocok tanam. Mula-mula tanaman palawija, Mas Untung kemudian menekuni tanaman sayur menggunakan teknologi hidroponik. Dia mempunyai sarana tanaman hidroponik di atas bangunan rumahnya. Tidak terlalu luas tetapi relatif cukup lengkap. Secara bergantian Mas Untung menanam kangkung, bayam, selada, sawi, strawberry, terong dan seledri.
Sebelum berkebun, pada pertemuan di kelas sekolah, Mas Untung menerangkan cara bercocok tanam. Para murid diberi kebebasan mencari data tanaman hidroponik lewat internet. Mereka kemudian membuat paper dari apa yang sudah diterangkan di kelas dan menggabungkan dengan sumber lain. Sebelum dibentuk menjadi beberapa kelompok beranggotakan sekitar 20 anak, mereka menyiapkan bahan-bahan sesusai karya tulisnya. Mereka memulai aktivitas dari jenis sayuran yang berbeda, sejak pembibitan, menanam hingga memanen. Tentu saja tidak cukup sekali pertemuan tetapi melewati beberapa kesempatan bertemu.
"Sambil belajar saya sekaligus praktek menanam macam-macam sayuran hidroponik" katanya.
Bermanfaat
Sementara itu murid-murid TK belum masuk pada tahapan seperti itu. Ada sebidang kebun seluas 7000 M2 terletak tidak jauh dari rumah Mas Untung. Sawah ini berisi tanaman palawija, seperti singkong, tomat dan cabai non hidroponik. Mereka diberi kesempatan memetik langsung tanaman yang ada di lahan kebun. Dengan kata lain, anak-anak TK baru sebatas diberikan pemahaman mencintai lingkungan, khususnya terhadap tanaman.
Untung Subagya berusaha memberi manfaat bagi banyak orang. Pada saat hari libur sesekali kerabatnya baik dari pastorat dan mantan rekan kerjanya di KG (Kelompok Gramedia) juga sering singgah.
"Hidup bukan sekadar menjadi milik sendiri, melainkan harus pula berbagi. Ada banyak cara, tetapi saya memilih memberi bekal kesadaran tentang lingkungan" ujarnya ketika dikunjungi kerabat dari Surabaya, Rabu (11/7/2017).
Aktivitas Untung Subagya memiliki jaringan luas sehingga dia tergabung dalam komunitas Rumah Hydroponic. Kerja kerasnya bahkan melebar sampai dikenal seluruh pedesaan. Ada cerita, ketika ayahnya meninggal dunia, warga muslim setempat mengadakan acara tahlilan. Padahal Untung Subagya seorang Katolik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H