Mohon tunggu...
Arifin BeHa
Arifin BeHa Mohon Tunggu... Penulis - Wartawan senior tinggal di Surabaya

Wartawan senior tinggal di Surabaya. Dan penulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ujung Jempol dan Titik Nol

5 April 2017   16:37 Diperbarui: 6 April 2017   00:30 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dra Andarini, dosen senior AWS/Stikosa menyerahkan potongan tumpeng untuk wartawan senior Peter A. Rohi -Foto ABH

BARANGKALI kalau ada halilintar menyambar pada hari Sabtu (1/4/2017) dalam udara Kota Surabaya yang cerah itu, tidaklah mungkin dianggap terlalu menggangu. Tidak ada yang terkejut, atau bahkan letupan suara itu bisa menjadi pelengkap hiburan.

Peserta silaturahim mahasiswa dan mahasiswi alumni Akademi Wartawan Surabaya-Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi lintas generasi sedang riang gembira menikmati kenangan tempo dulu ketika kuliah. Dalam suasana seperti itu mana mungkin bisa terganggu.

Peristiwa hari itu membuktikan kekuatan ujung jempol. Bermula dari ujung jempol muncul tulisan-tulisan di WhatsApp Group (WAG) Keluarga AWS/Stikosa. Pesan berantai terus menggelinding, menyampaikan sinyal ingin berjumpa. Ketika tempat pertemuan berada di Jl. Hamzah Fansuri No 7 Surabaya, maka komunitas ini seakan-akan berada di titik nol. Sebuah titik yang menandai kenangan masa kuliah, kira-kira 30 tahun lalu.

“Rasanya seperti mimpi, setelah lebih 30 tahun berpisah. Lima jam serasa lima menit” ujar Dien Irhastini, mahasiswi angkatan 1981. Bayang-bayang itu belum pudar, membuat Dien serasa mabuk kepayang.

Dien mengaku, ketika kuliah tak pernah punya kesempatan ngerumpi sesama teman seangkatan, termasuk berkomunikasi dengan para senior dan yunior. Maklum waktu itu Dien merangkap kuliah di lain perguruan tinggi.

Ketika membaca WAG ada silaturahim, jauh-jauh hari Dien memesan tiket Jakarta-Surabaya pergi pulang. “Saya mau bayar hutang untuk bicara, bergaul dan ngerumpi panjang lebar. Sedih, senang dan bahagia campur aduk” ungkap Dien penuh semangat. Pelupuk matanya sempat berkaca-kaca ketika mendapat cerita bahwa sebagian teman dan dosen AWS/Stikosa sudah wafat.

Iit Rufaida mahasiswi angkatan 1979 menilai, silaturahim komunitas Keluarga AWS/Stikosa ibarat mempersatukan teman lama yang berpencar ke berbagai kota. Selepas kuliah Iit sempat menjadi staf Perwakilan Harian Sinar Harapan di Jl. Tegalsari Surabaya. Setelah berkeluarga dia mengikuti suami bertugas di Pabrik Gula (PG) Rejosarie, Magetan. Domisilinya lantas berpindah sebelas kali, dari satu PG pindah ke PG lainnya.

Donasi

Apa yang diucapkan oleh para alumni memang menggambarkan bagaimana rasa rindu ingin bertemu tidak menjadi sirna begitu saja. Mengutip buku tamu, tercatat 55 orang hadir, mulai angkatan 1972 hingga angkatan tahun 1986.

Kehadiran wartawan senior Peter A. Rohi (Sinar Harapan-Suara Indonesia-Harian Surya); H. Tatang Isitiawan (Owner Harian Surabaya Pagi); Ferry “Pei” Suharyanto (kartunis dan aktivis media); Ketua Badan Pengurus Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur, Dhimam Abror dan Sekretaris Amin Istigfarin;  Amang Mawardi (perintis Harian Pos Kota Perwakilan Jawa Timur); serta para alumni AWS/Stikosa dari luar kota Surabaya, menunjukkan semangat tinggi. Jujur saja, selama ini terdapat perbedaan pemikiran diantara mereka, Tetapi kalau nama AWS/Stikosa dikumandangkan, maka adrenalin kebersamaan menjadi satu. 

Dra Andarini, dosen senior AWS/Stikosa menyerahkan potongan tumpeng untuk wartawan senior Peter A. Rohi -Foto ABH
Dra Andarini, dosen senior AWS/Stikosa menyerahkan potongan tumpeng untuk wartawan senior Peter A. Rohi -Foto ABH
Ada banyak cara menunjukkan agar pertemuan tidak sia-sia. Mereka juga giat mengumpulkan donasi untuk didekasikan kepada beberapa dosen sepuh, termasuk keluarga dosen yang belum lama meninggal dunia.. Alumni di Jakarta jauh hari mengirim donasinya melalui transfer ke rekening kawan yang ditunjuk. Ini namanya kinerja segendang seirama. Silaturahim harus mempunyai nilai lebih.

Berawal tulisan Kompasiana Memutar Jarum Kenangan dari Pamulang disusul dengan Reuni, Butuh Energi dan Strategi lalu berikutnya Cerita Bung Karno dari Kapasari Menuju Hamzah Fansuri tanpa disangka pertemuan demi pertemuan sudah terjalin.

Jarum kenangan yang “diputar” dari Pamulang terus bergulir. Bahkan sepertinya bergerak terlampau cepat.  Rata-rata setiap dua bulan komunitas alumni ini mengadakan pertemuan silaturahim. Jumlah mereka dibilang tidak banyak, hanya sekitar 30 sampai 50 orang.

Kegembiraan dimana-mana ada batasnya. Seperti senandung lagu “Kapan Kapan” milik Koes Plus,

Kapan-kapan, kita berjumpa lagi…

Kapan-kapan, kita bersama lagi…

Mungkin lusa atau di lain hari…

Hari ini kita bertemu, dan hari ini pula kita berpisah. Begitulah kehidupan. Selalu punya harapan. Sampai jumpa kawan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun