Mohon tunggu...
Arifin
Arifin Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Guru biasa yang ingin terus membaca, menulis, berbagi dan bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Modalitas Etika-Moral

17 Desember 2024   08:42 Diperbarui: 17 Desember 2024   09:27 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru merupakan satu sosok yang layak untuk "digugu lan ditiru", namun ada juga yang menyebut guru sebagai sosok yang "wagu tur saru".  Dua-duanya bisa benar, tergantung modalitas yang dimiliki oleh guru.

Guru yang modalitasnya lengkap pasti menjelma sebagai teladan yang layak digugu (dipercaya) dan ditiru (patut dicontoh). Sebaliknya, guru yang tidak memiliki modal sebagai  pendidik, dia akan tampil meragukan, ilmunya tidak memadai dan perilakunya tidak layak diteladani.

Jika kita mengacu pada regulasi tentang kompetensi guru, kita mengenal modalitas kompetensi guru yang membuat seorang guru itu layak menjadi guru. Seorang guru dikatakan bisa "digugu lan ditiru" jika memenuhi empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional. Atau, jika mengacu pada modalitas manusia secara umum, guru yang baik adalah guru yang setidaknya memiliki enam komponen modalitas, yaitu modal intelektual, modal emosional, modal sosial, modal ketabahan, modal etika-moral dan modal Kesehatan.

Dari enam komponen modalitas tersebut, satu komponen yang menjadi titik pembeda adalah modal etika dan moral. Modal etika dan moral merupakan bagian terpenting dari kehidupan seorang guru.  Sekolah harus memiliki banyak guru cerdas, namun juga harus memiliki etika moral yang baik. Guru cerdas dengan etika dan moral yang rendah, maka sejatinya dia bukan guru. Dan sekolah yang dipandu oleh guru nir etika-moral akan menjadi tempat yang tidak layak untuk sebuah proses pendidikan yang mulia.

Bisa kita bayangkan, jika para guru melakukan pelanggaran moral. Yang paling ringan misalnya berbuat curang dengan memalsukan tanda tangan orang lain, memalsukan ijazah atau sertifikat, memiliki kebiasaan berkata kotor atau melakukan perundungan terhadap muridnya. Maka, sekolah yang diisi oleh guru-guru yang demikian itu tentu tidak akan mampu mencetak generasi bangsa yang lebih baik.

Lennick & Kiel (2005) menyusun alat pengukur modal etika-moral yang bisa menjadi standar kelayakan seseorang bisa menjadi guru atau teladan. Alat ukur Lennick ini disebut dengan Moral Competency Inventory yang dibangun di atas empat komponen, yaitu : integritas (integrity), bertanggungjawab (responsibility), penyayang (compassionate), dan pemaaf (forgiveness).

Integritas (integrity) adalah meyakini dan menerapkan nilai-nilai universal dalam perilaku sehari-hari. Guru tidak boleh berbohong, itu nilai universal. Seorang guru yang tidak masuk kerja dan menitip presensi kepada temannya, adalah contoh guru yang tidak memiliki integritas. Guru yang membocorkan kunci jawaban soal ujian, adalah guru yang nir-integritas. Integritas menjadi penanda modalitas etika-moral seorang guru.

Demikian pula dengan sikap bertanggungjawab, penyayang dan pemaaf, guru harus memiliki sikap dasar itu untuk mampu berperan sebagai teladan/ pendidik. Modal moral ini menjadi semakin penting dalam kerangka menghantarkan guru dan anak didiknya mencapai kebermakanaan hidup. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun