Usulan untuk menerapkan kembali model Ujian Nasional (UN) sebagai sistem evaluasi pendidikan standar nasional semakin menguat. Bahkan, organisasi guru terbesar di negeri ini, PGRI, merekomendasikan hal tersebut pada  acara diskusi kelompok terpumpun Evaluasi Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKP) Kemendikdasmen di Jakarta, pada tanggal 25 November 2024, bertepatan dengan Hari Guru Nasional.
Rekomendasi ini didasarkan pada hasil survey yang dilaksanakan oleh PB PGRI terhadap 37.402 responden dari 32 provinsi. Para responden yang terdiri dari guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dosen, orang tua siswa dan siswa, sebagian besar (96,8%) menyatakan bahwa UN sangat penting dan penting untuk diterapkan kembali. Sedangkan sisanya, hanya 3,2% responden yang menyatakan tidak setuju jika UN dikembalikan ke bangku sekolah.
Kontradiktif
Desakan untuk mengembalikan UN sebagai standar nasional dalam evaluasi memunculkan banyak kekhawatiran. Model UN sebelumnya mendorong penyimpangan proses pembelajaran di sekolah. Â Ujian Nasional mereduksi proses pembelajaran menjadi sekadar persiapan ujian (UN).Â
Pembelajaran tidak lagi menjadi ajang keasyikan belajar untuk melakukan eksplorasi ilmu pengetahuan. Para siswa tidak mampu membangun motivasi instrinsik dan semangat self-regulated learning. Mereka belajar karena hanya didorong oleh faktor eksternal yang memicu kecemasan dan takut, yaitu takut tidak mampu menjawab soal UN dan takut tidak lulus.
Guru pada akhirnya masuk jebakan pembelajaran model rumus jitu untuk mendongkrak skor ujian (UN). Proses pembelajaran berubah menjadi persiapan menjawab soal dengan berbagai trik yang dikembangkan. Akibatnya, proses pembelajaran terhenti pada tahapan permukaan (surface learning /SL) dengan  menggunakan metode dril. Model pembelajaran ini menyebabkan kemampuan berpikir siswa menjadi stunting.Â
Para siswa hanya belajar pada level kompetensi  yang rendah, yaitu hanya kemampuan menghafal  dan menjawab pertanyaan.  Seperti kata Wiggins (2010), "At its worst, this practice encourages and results in bad teaching, a low level and formulatic approach to learning at the expense of exploring ideas in greater depth."
Praktik pembelajaran SL dan asesmen model UN tersebut tentu kontradiktif dengan gagasan dan rencana Menteri Abdul Mu'ti untuk menerapan pendekatan Deep Learning (DL) dalam proses pembelajaran.Â
Deep learning berada satu level di atas SL, dimana siswa memiliki kesempatan untuk mendalami pemahaman konten dengan cara membangun koneksi konseptual dan kontekstual, mengaplikasikan dan mempraktikkan konsep serta keterampilan yang telah dipelajarinya (John Hattie, 2017).
 Tujuan dari DL ini adalah agar siswa benar-benar memahami proses belajar, memaknai konten secara kontekstual, menerapkan hasil belajar dan menyenangi pengalaman belajarnya. Sehingga, seperti yang digagas Menteri Abdul Mu'ti, pembelajaran menjadi deep, mindful, meaningful, dan joyful.