Aku mengenal desa Rangkat atau deRangkat sehubungan dengan aktivitas setelah mengenal Kompasiana sebagai media sharing and coneccting dalam bentuk tulisan yang biasa disebut dengan istilah jurnalisme warga. Demikian pula yang terjadi pada deRangkat sesuai dengan nama yang diyakini sebagai media Diskusi Elok Sarat Asah-asih-asuh Rangkaian Kata. Apapun namanya media masa yang pada dasarnya adalah pengembangan dari budaya kebutuhan manusia dalam hal interaksi sosial antar sesama sesuai kodratnya sebagai makhluk sosial.
Sebagaimedia interaksi sosial, baik Kompasiana maupun deRangkat mempunyai dasar yang sama adalah adalah modal dasar kemampuan untuk dapat menulis artikel atau menuangkan perasaan dalam bentuk tulisan. Hal itulah kendala yang menghadang keberadaanku dalam situs dunia maya itu, aku merasa tidak mampu dikatagorikan sebagai blogger apalagi penulis. Dunia maya bagaiku hanya sebatas sebagai sarana menuju tujuan utama untuk interaksi sosial yang sebenarnya di dunia nyata.
Karena itulah aku berusaha menyempatkan diri untuk menuju dunia nyata dari dunia maya atau istilah yang populer adalah kopi darat ’kopdar’, dimana saja sepanjang tempat itu dapat terjangkau dengan kemampuanku transportasi darat. Lebih dari itu selain dimana saja, juga aku berusaha mengenal komunitas apa saja yang aku kenal di dunia maya untuk memperluas jangkauan interaksi sosial.
Karena itulah ketika deRangkat menginformasikan akan menggelar kopdar di Yogyakarta serta merta aku segera mendaftarkan diri, bahkan sejak masih berupa wacana spontanitas warga sekitar dua bulan yang lalu. Tak heran kalau namaku nangkring di rangking atas daftar peserta yang akan hadir, mungkin saja secara kebetulan daftar itu disusun secara alfabetis yang memungkinkan namaku berada di papan atas.
Hari Jum’at tanggal 1 Juli 2011 dengan hati berbunga-bunga aku telah mempersiapkan diri untuk berangkat meluncur menuju Yogyakarta, tempat diselenggarakannya kopdar akbar warga desa Rangkat. Sekitar jam 15.00 sore itu aku telah seleseai mandi dan aku sengaja mengenakan baju kaos yang bertuliskan Kompasiana , dengan harapan sebagai identitas karena aku harus mencari dan mungkin dicari oleh warga lain yang nota bene belum aku kenal secara langsung.
Dari beberapa warna baju kaos Kompasiana yang aku miliki, aku memilih warna hitam karena masih terlihat bagus, berbeda dengan warna lain yang kusam lusuh karena sering aku pakai. Segera aku bergegas ke kota yang berjarak sekitar 20 km menuju pangkalan bis yang mempunyai trayek Yogyakarta. Sekali lagi dengan perasaan hingar bingar dan hati bebunga-bunga berharap pagi-pagi nanti hari Sabtu tanggal 2 Juli 2011 sudah sampai di kota gudeg Yogyakarta.
Beberapa saat bis yang aku tumpangi berjalan masih didalam jalan tol yang waktu itu padat tapi lancar aku membayangkan betapa gembiranya besok bertemu dengan sesama warga desa Rangkat yang selama ini hanya aku kenal di dunia maya. Tiba-tiba telpon seluler jadul yang aku miliki berdering yang menandakan ada signal masuk yang harus segera aku terima. Harapanku adalah seseorang tokoh desa Rangkat yang sudah pernah aku kenal di kopdar Bandung lebih dari setahun lalu yang sudah menginformasikan di fesisbuk pasti datang di kopdar Yogyakarta.
Harapanku ternyata tidak terbukti dan bahkan hatiku yang berbunga-bunga sejak berangkat tadi tiba-tiba layu sebelum berkembang. Pesan singkat yang terbaca di layar monitor hp jadulku mengabarkan bahwa salah seorang kerabat dekat di Surabaya meninggal dunia sore tadi sekitar jam 15.30. Saat-saat tadi sore aku bersiap-siap dan berkemas untuk menuju kopdar Yogyakarta. Saat-saat yang masih segar dalam ingatanku bahwa sore tadi sekitar jam 15.00 aku telah selesai mandi dan mengenakan baju kaos warna hitam bertuliskan Kompasiana.
Dalam hal ini tentu aku tidak akan menghubungkan sesuatu yang sifatnya kebetulan dengan firasat atau fenomena alam yang rasanya hanya cerita takhayul, magis atau apapun namanya. Tentu hanya kebetulan saja sore tadi aku mengenakan baju kaos warna hitam, layaknya warna yang sering dijumpai pada suasana berduka cita. Aku berusaha lebih suka berfikir yang realistis atau rasional dalam menghadapi kenyataan hidup.
Warna hitam adalah warna yang lebih tahan suasana kotor, suasana yang tentu banyak dijumpai di areal pemakaman yang banyak berserakan tanah galian liang kubur. Karena itu warna hitam atau warna gelap lainnya lebih dipilih oleh banyak orang yang akan melayat orang meninggal, dengan harapan melayat sampai ke liang lahat menghantar seseorang atau kerabat untuk kepergian yang terakhir kalinya. Kini warna hitam seolah menjadi ikon suasana duka dan bahkan dikaitkan dengan suasana magis atau cerita horor.
Suasana kotor selain terdapat di areal tanah galian liang kubur tentu banyak juga dijumpai dengan suasana lain, misalnya dalam suasana bepergian di daerah panas banyak berdebu dan keluar keringat. Jadi ketika aku berangkat ke Yogyakarta mengenakan baju kaos warna hitam sungguh merupakan pilihan yang tepat, bukan firasat bahwa bersamaan atau berkaitan dengan suasana duka cita yang terjadi.
Akhirnya bis yang aku tumpangi sampai juga ke Yogyakarta meski agak terlambat dari prakiraan akibat terjebak kemacetan lalulintas di pantura yang telah menjadi kebiasaan pada umumnya. Rencanaku semula adalah mengontak bang Odi Silahuddin Mahdaniyang sebelumnya sudah aku catat data infonya dari feisbuk. Namun rencana itu aku batalkandan aku tidak menyampaikn alasan tidak hadir di kopdar Yogyakarta. Agar tidak mengganggu suasana gembira kopdar Yogyakarta yang tentunya memang dalam suasana riang gembira.
Aku bergegas menuju jalur pemberangkatan bis yang menuju Surabaya untuk anjangsana melayat kerabat dan silaturchami atau silaturachim pada kerabat lain yang tentunya akan banyak aku jumpai disana. Layaknya juga kopdar dadakan dengan para kerabat yang jarang bertemu meski dalam suasana duka....................................
Tags : interaksi sosial, kopdar DesaRangkat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H