Mohon tunggu...
Arifin Basyir
Arifin Basyir Mohon Tunggu... pensiun pegawai negeri -

jujur aja n terus terang sebenarnya aq ini gaptek asli. awalnya ngenal komputer itu sebagai salah satu mainan anak (komidi puter). demikian juga tentang internet, dulunya ngenal itu sebagai makanan (instan mi, telur dan kornet). awal belajar ngenet didaftarin teman jadi anggota jamaah feisbukiyah (belakangan baru tahu kalau istilah yang bener feisbuker). ketika jadi feisbuker tiap buka akun koq ada tulisan apa yang kau pikirkan dan tuliskan sesuatu di dinding. iseng-iseng belajar nulis disitu. nulis lagi di dinding feisbuker artis tentang surat cinta dan puisi cinta. belajar terus baca koran kompas.com, disitu ada kolom komentar. iseng lagi nulis disitu. pada suatu hari mengenal kompasiana.com. ada kolom komentar yang cukup luas untuk belajar nulis. asyik juga jadi komentator. lama-lama terangsang pingin nulis artikel. waktu ada iklan blogshop, buru-buru ngedaftar. pernah ngikuti blogshop sampai 3 kali (cimart cikarang, kompas jakarta dan itb bandung). sekarang lumayan agak melek teknologi, bisa sedikit nulis n posting aja sudah untung. ya gapteknya masih ada juga sih. belum bisa membuat tautan link klik disini. semoga ada blogshop yang ngajarin gituan. kalau nggak semoga ada relawan yang mau ngajari. aku mau datangi rumahnya, hitung-hitung kopdar... gitu loh. lagian mungkin dapat kopi sungguhan....'kali

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Seputar Peluncuran dan Bedah Buku: Polisi Zaman Hindia Belanda, dari Kepedulian dan Ketakutan

4 Februari 2011   01:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:55 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_88884" align="aligncenter" width="530" caption="Cover Buku/Admin (penerbitbukukompas.blogspot.com)"][/caption] Buku setebal sekian ratus halaman oleh penulis Marieke Blombergen seorang wanita berdarah Belanda namun fasih berbahasa Indonesia diluncurkan tanggal 2 Februari 2011 di Bentara Budaya Jakarta. Bersamaan pula dengan acara bedah buku itu oleh moderator seorang wartawan senior dari Kompas dengan nara sumber orang-orang yang berkompeten dan pakar handal di bidangnya, yaitu DR. Ambarwulan peneliti dari Pusat Sejarah TNI (dulu ABRI, polisi termasuk di dalamnya), Prof.DR.Sarlito Wirawan, psikolog dan Prof.DR. Adrianus Meilala, kriminolog, yang semuanya taka sing lagi sangat terkenal di kalangan masyarakat. Berbicara tentang kelebihan dan kekurangan suatu institusi yang berhubungan langsung dengan masyarakat, banyak bergantung bagaimana cara mengungkap dan media masa menyampaikannya kepada masyarakat. Kalaupun boleh dikata tidak berimbang antara kelebihan dan kekurangan dan umumnya kekurangannya yang lebih banyak dibicarakan, sepertinya hal itu juga sudah umum dijumpai, antara lain dalam membicarakan kiprah polisi selama ini. Meskipun berbicara dalam kurun waktu jaman kolonial atau Hindia Belanda yang menjadi pemerintah pada waktu itu. Kejelekan birokrasi yang tak lepas dari pelanggaran hukum dan polisi merupakan salah satu bagian dari aparatur penegak hukum tak jarang juga terlibat didalam pelanggaran itu. Berbicara tentang kejelekan birokrasi di masa lalu era kolonial Hindia Belanda yang tak lepas dari aparatur penegak hukum yang terkait berada didalamnya. Salah satunya adalah dengan mengutip penggalan kalimat dalam buku WBK: Memberantas Korupsi Dengan Sentuhan Hati (DR.Mulyanto,M.Eng, 2009, untuk kalangan sendiri Kementerian Pertanian):"Di zaman kumpeni atau VOC, tepatnya yaitu sebelum masa kekuasaan Daendels, umum diketahui bahwa tiap kali dari Batavia melapor atau kirim laporan ke pusat pimpinan VOC (pemerintah) di Negeri Belanda senantiasa terdapat catatan yang berbunyi 'Elke Regent Heeftzijin eigen Chinees' yang artinya tiap bupati mempunyai orang Tionghoa-nya sendiri, yakni sebagai pemasok dana bagi kebutuhan bupati" Sebagaimana dikatakan sendiri oleh penulis buku polisi zaman hindia belanda, dari kepedulian dan ketakutan yang langsung memaparkan tulisannya itu, sepintas makna materi yang dapat ditangkap adalah bahwa menjadi polisi yang baik (masih) merupakan impian. Meski dipaparkan juga beberapa figure polisi yang baik di zaman kolonial Hindia Belanda, antara lain sosok Sukanto yang dikemudian hari menjadi Kapolri yang pertama di republik ini. Dengan lebih menggaris bawahi sub judul buku 'Dari Kepedulian dan Ketakutan', seolah menempatkan kiprah polisi pada suatu dilema pilihan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai polisi. Bahkan sampai kini dari zaman ke zaman berganti pemerintahan dan pimpinan. Minimal kepedulian dalam menjalankan amanah negara melalui perintah atasan yang merupakan tugas pokok dan fungsinya. Demikian pula dalam hal ketakutan, minimal takut dituduh melanggar hak azasi manusia (HAM), dalam bertindak meski telah sesuai dengan standar prosedur operasional yang baik dan benar. Sebagaimana banyak contoh kasus polisi yang harus berhadapan dengan para demonstrans dari berbagai lapisan kalangan masyarakat dengan berbagai karakter dan temparemen yang sangat banyak bervariasi. Ketika itulah polisi dituntut untuk bertindak berazaskan profesionalisme yang proporsional dan masih ditambah tuntutan lain berupa tindakan persuasive dan atau tidak melanggar HAM dalam keadaan apapun dan terhadap siapapun. Sungguh situasi dan kondisi yang tidak adil yang harus dihadapi oleh aparat kepolisian. Betapa tidak, bagaimanapun juga polisi adalah juga manusia biasa yang dilengkapi dengan perangkat lunak dalam otaknya berupa pikiran adanya perasaan nafsu, amarah, emosi, harga diri, ketidak puasan, dll berbagai perangkat yang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Artinya wajar dan sah sah saja sebagai manusia pada suatu ketika tidak mampu mengendalikan emosi dalam situasi terpancing oleh orang lain yang jumlahnya lebih banyak. Apalagi kalau harus ditambah dengan kelelahan, baik fisik maupun mental dalam situasi panas terik bertugas menjalankan perintah atasan. Di lain fihak ditambah pula dengan situasi dan kondisi ketidak adilan yang terbentuk selama ini dalam mengartikan HAM, seolah hanya pengertian sepihak atau yang tidak seutuhnya. Bukankah idealnya hak selalu berhubungan dengan kewajiban, dua kosa kata yang saling melekat membentuk satu kesatuan makna yang selalu seiring dan sejalan. Dimana ada hak, disitu juga ada kewajiban. Pada umumnya orang hanya menuntut hak, tetapi tidak peduli dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Hak azasi manusia seharusnya juga diartikan sepenuhnya sebagai hak dan kewajiban azasi manusia. Dengan perkataan lain jangan hanya pandai menuntut hak saja, tetapi penuhi juga kewajiban sebagai manusia terhadap sesama manusia, apapun itu profesinya. Kalau polisi dituntut tidak boleh melanggar HAM dalam menjalankan tugas menghadapi pengunjuk rasa misalnya. Maka para pengunjuk rasa juga harus dituntut kewajibannya sebagai manusia untuk bertindak tidak anarkis, sopan santun terhadap siapapun, terlebih menghadapi aparatur negara, yang sedang bertugas dan sekaligus merupakan simbol negara,  patuh terhadap peraturan dan atau peraturan perundangan yang telah disepakati, dll, dsb. Dalam etika sosial sudah cukup dikenal peribahasa mengenai tenggang rasa 'jangan pernah sekalipun menyakiti orang lain, kalau tidak mau disakiti oleh orang lain' Seandainya setiap orang tahu, mau dan mampu mengartikan HAM sebagai hak dan kewajiban azasi manusia, maka pembenahan institusi polisi atau apapun institusi lain yang banyak berhubungan langsung dengan masyarakat, bukan tidak mungkin menjadi pekerjaan yang tidak begitu menguras tenaga dan fikiran. Lebih dari itu pelan namun pasti, semoga tidak lagi akan ada istilah polisiku sayang polisiku malang, tetapi yang ada adalah polisiku sayang polisiku gemilang. Tags : aparatur negara, birokrasi, hak dan kewajiban, HAM, polisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun