Meski mungkin belum ada data yang pasti seberapa jauh jumlah dan masalah keberadaan golput, faktanya banyak pemilih pemula dikalangan mahasiswa yang terpaksa harus mau menerima kenyataan dicap dengan lebel ‘golput’. Paling tidak anak saya yang menjadi mahasiswi di PTN yang jauh dari rumah tempat tinggal dan harus menghuni di rumah kos. Menjadi mahasiswi sejak tahun kuliah 2008-2009, bertepatan dengan musim pemilu. Kesibukan sejak kelas 12 SMA, konsentrasi untuk melanjutkan kuliah, dari mencari info sampai mendaftar kesana kemari beberapa perguruan tinggi yang diminati. Seolah cuek bebek dengan hingar bingar persiapan pelaksanaan pesta demokrasi yang sedang berlangsung, termasuk kampanye yang banyak menarik perhatian publik.
Semester pertama kuliah penuh dengan berbagai kegiatan dan harus beradaptasi dengan lingkungan barunya, perguruan tinggi dan lingkungan hidup di perantarauan tempat kos. Semakin ‘lupa’ dengan kewajibannya sebagai warga negara yang harus menggunakan hak pilihnya, memberikan suara di TPS asalnya terdaftar pada pemilu 2009. Jelas ini bukan ideologi seorang mahasiswa sehingga menjadi golput. Bukan ideologi tetapi keadaan yang ideal seorang mahasiswa menjadi golput. Juga terbentuk dengan kondisi ideal waktu itu, tahu pasti kondisi keuangan orang tua yang baru saja mengeluarkan banyak uang, berkaitan dengan masuk perguruan tinggi yang pasti mahal sepanjang waktu dari tahun ketahun.
Sungguh tidak praktis dan tidak ekonomis, mudik dari tempat kos hanya untuk satu keperluan ‘memberikan suara hak pilihnya’ yang berlangsung hanya beberapa jam di hari H pemilu itu. Betapa melelahkan dan merepotkan jika harus segera kembali siang itu ke tempat kos, dua malam suntuk berada dalam kendaraan transportasi darat yang ongkosnya juga tidak murah. Menggunakan pesawat terbang untuk mencoblos di TPS di tempat asal pemilih terdaftar? Ekonomi biaya tinggi yang harus dibayar orang tua mahasiswa di dunia pendidikan tinggi yang sudah tinggi biayanya. Seandainya politik uang dapat diarahkan kesini. Elite parpol mampu menyewa pesawat terbang untuk kampanye. Akankah elite parpol menyewa peswat terbang atau beberapa unit bis yang dapat ditumpangi mahasiswa mudik untuk keperluan mencoblos dalam rangka pemilu?
Pada musim pemilu 2014, mahasiswa angkatan 2008-2009 idealnya memang sudah selesai kuliah dan kembali ke rumah masing-masing atau bermukim di suatu tempat. Tapi perlu diingat ada mahasiswa fakultas dan jurusan atau prodi tertentu yang harus menempuh menyelesaikan program pendidikan profesi setara S2, setelah lulus program S1. Untuk kedua kalinya kondisi ideal berpotensi mencipitakan golput dikalangan akademisi. Minimal kasus yang dialami anak saya seminggu sebelum 9 April 2014, menjawab masih ada ujian ketika saya ingatkan agar pulang untuk keperluan pemilu yang merupakan hari libur nasional. Anak sudah terdaftar de jure sesuai KK, oleh petugas RT tempat tinggal.
Penelusuran lebih lanjut, tidak ada pendaftaran pemilih de facto di tempat kos, demikian pula di kampus perguruan tinggi. Apalagi selama ini kampus perguruan tinggi seolah mengharamkan kegiatan politik bagi mahasiswanya dalam lingkungan kampus mereka. Sejelek itukah politik masuk kampus, meski itu urusan pemilu yang seharusnya diikuti oleh mahasiswa sebagai generasi muda penerus yang terpilih terdidik dalam pendidikan tinggi. Sementara itu menjadi golput juga menimbulkan masalah tersendiri. Dicela disana sini, dihujat dan bahkan diharamkan oleh fatwa MUI. Dilain fihak tidak ada upaya mencari olusi dari fihak manapun berkaitan dengan keberadaan golput. Golput sebagai stigma negatif di masyarakat, bagaikan buah simalakama, keberadaannya tidak dikehendaki, menjadi masalah tanpa solusi.
Perlu ada evaluasi masalah pemilu dalam kampus. Kalaupun kampus memang harus steril dari kegiatan politik, tentu ada cara tersendiri bagi para akademisi untuk mengikuti pemilu. Mahasiswa adalah generasi muda terpilih terdidik yang berpotensi besar melanjutkan sejarah bangsanya, sejarah berbangsa dan bernegara. Kalaupun mahasiswa tidak boleh berpolitik, tetapi harus melek politik. Pendidikan politik dapat dikemas dalam bentuk lain, wawasan nusantara, wawasan berbangsa dan bernegara atau apapun namanya. Dari sekolah menengah sudah ada Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sejarah perjuangan bangsa, dsb. Bukankah itu pendidikan yang bermuatan politik negara?
Kalaupun pendidikan tinggi tetap mengharamkan pendidikan politik. Kepalang basah sekalian mandi, tutup saja fisipol dan sejenisnya. Biarlah mahasiswa belajar politik nonformal dari masyarakat lingkungannya. Bukankah yang menjadi politisi berasal dari berbagai disiplin ilmu, bukan dari fisipol saja. Banyak juga politisi yang berpendidikan sekolah menengah atau mengenyam pendidikan tinggi sambil menjadi politisi. Politisi yang berasal dari para professional juga banyak. Juga dari para purnawirawan tentara dan polisi, baik yang dari jenjang karir murni maupun titular.
Pemilu masih akan tetap terus berlangsung setiap lima tahun, sepanjang masih ada kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai sarana suksesi kepemimpinan negara dan bangsa. Demikian pula pendidikan, dasar, menengah maupun pendidikan tinggi, sejalan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut. Sebagai regenerasi berkelanjutan dan berkesinambungan, juga dalam kaitan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilain fihak keberadaan golput juga tetap terus berlangsung, sejalan dengan dua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut. Sepanjang mekanisme tetap tak berubah, golput sebagai efek samping yang tidak dikehendaki, dapat diprediksi kapan terjadinya. Tetapi tidak pernah ada yang memikirkan menghindari atau paling tidak mengurangi.
Tags : “serbaserbi pemilu”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H