Mohon tunggu...
Arifiadi Patahuddin
Arifiadi Patahuddin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bekerja sebagai IT consultant, bercita-cita menjadi seorang atlet olahraga. Semoga bisa menjadi Mentri Olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

LPG 12 Kg Naik, Apa Dampak dan Solusinya?

16 September 2014   22:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:30 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenaikan harga LPG 12 kg yang jauh-jauh hari mulai dihembuskan oleh PT Pertamina akhirnya menemui babak baru dimana harga LPG resmi naik pada Rabu, 10 September 2014. Kenaikan dilakukan mulai pukul 00.00 WIB sebesar Rp 1.500 per kilogram, ini berarti harga pertabung menjadiRp 18 ribu, harga ini secara merata diterapkan di seluruh Indonesia. Pertamina mendasari tindakan ini untuk mengurangi kerugian yang dialami tiap tahun. Ini berarti pertamina masih mengalami kerugian walaupu itu surplus. Kerugian setelah diprediksi yaitu Rp 5,7 triliun setelah menaikkan harga. Kerugian yang sangat banyak.

Keinginan Pertamina juga didiskusikan pada acara Kompasiana Nangkring Bareng PT Pertamina (Persero). Jum’at tanggal 29 Agustus 2014 berlokasi di Penang Bistro Kebayoran. Dihadiri ratusan kompasianer yang ingin tahu lebih detail tentang kenaikan harga LPG 12 Kg. Hadir perwakilan dari PT. Pertamina, Adiatma Sarjito selaku Media Manager PT Pertamina dan bintang tamu Farah Quinn yang kesehariannya dalam memasak menggunakan gas LPG 12 Kg. Acara ini dipandu oleh Heru Margianto selaku moderator.

Dampak kenaikan harga LPG Non Subsidi.

Dengan adanya kenaikan harga LPG ini, dampak terhadap masyarakat, antara lain sbb.

1.Gas LPG 3 tiba-tiba lenyap (Penimbunan).

Menyusul adanya kenaikan harga gas LPG untuk tabung ukuran 12 kg dari sebesar Rp 1.500 per kilogram. Dampak dari kenaikan harga gas LPG non subsidi diperkirakan masyarakat akan beralih ke gas LPG bersubsidi untuk tabung ukuran 3 kg. Oleh oknum tertentu ini bisa terjadi praktik penimbunan demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

2.Kelangkaan LPG 3 Kg.

Dengan harga gas LPG 3 kg hanya Rp 15.000 dan apabila dikalikan empat harga LPG 3 Kg hanya Rp 60.000, sementara harga LPG 12 kg dua kali lipat. Otomatis sebagian pengusaha beralih menggunakan LPG 3 Kg. Ditambah dengan masalah pasokan gas LPG 3 Kg sudah mulai berkurang di suatu daerah tertantu, maka sebagian masyarakat baik itu pembeli maupun pengecer berupaya mencari di daerah lain. Dengan adanya pembeli dari daerah lain, menyebabkan jatah yang sudah cukup bisa terkurangi. Hal inilah yang bisa menyebabkan kelangkaan di pasaran.

3.Munculnya tabung Oplosan

Fakta di lapangan berdasarkan data dari PT. Pertamina bahwa 79 % pengguna LPG adalah pengguna tabung gas 3 kg atau yang kita kenal dengan sebutan melon, gas 3 kg ini sering dioplos, kenapa diopos karena adanya sparitas harga yang mencolok antara gas LPG 3kg dengan LPG 12 kg. Bisa kita tau kalau ini dioplos karena jka menggunakan LPG 3kg dibanding dengan yang 12 kg, bahwasanya LPG 12 kg lebih cepat habis dibanding kita membeli LPG 3kg sebanyak 4 buah.

4.Keresahan pengusaha rumah makan.

Dampaknya juga dialami oleh para pengusaha restoran, dengan kenaikan ini otomatis akan sangat berpengaruh pada cost perusahaan. Belum lagi akan berimbas pada kenaikan harga kebutuhan lain. Memang, ada opsi untuk menaikkan harga makanan. Tetapi, pengusaha takut ini akan berimbas pada berkurangnya jumlah pelanggan.

Solusi

Pada prinsipnya, kebijakan kenaikan harga LPG biru diharapkan tidak merugikan dua belah pihak, yakni pemerintah dan Pertamina. Pertamina dan negara tidak terus menerus dirugikan, sebagaimana ditemukan BPK. Tapi, penyesuaian harga dilakukan pertimbangkan kemampuan dan daya beli masyarakat dan ditempuh dalam tahap yang tepat.  Dengan mekanisme dan langkah yang akan diambil pemerintah,  masalah ini dapat mencapai solusi. berikut beberapa solusi dan kebijakan yang dapat diambil pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah ini :

1.Koordinasi yang lebih baik

Maraknya penimbunan harusnya sudah menjadi antisipasi oleh pihak Pertamina dan aparat terkait sehingga tidak terjadi praktik penimbunan yang bisa menyebabkan kelangkaan di pasaran. Harus ada distrubusi gas LPG yang jelas. Apabila terjadi kelangkaan tim bisa mengecek ke masing-masing distributor. Sementara itu pemerintah juga harus proaktif dalam mengawasi langsung mulai dari SPBE, agen dan pengkalan, karena selepas dari itu sangat memungkinkan terjadinya permainan termasuk upaya penimbunan.

2.Menindak pengoplos

Sangat disayangkan, program yang sangat bagus ini terjadi pengoplosan yang sangat merugikan pemerintah. Permasalahan yang ada adalah tidak adanya koordinasi dengan polisi terhadap oknum nakal. Pertamina dan Polisi harusnya mencari pelaku oplosan LPG 3 kg ke 12 kg. Dengan adanya kenaikan harga LPG 12 kg, banyak pihak yang akan menimbun sampai melakukan pengoplosan LPG 12 kg. Harga LPG 3 kg bersubsidi harganya sangat murah yakni Rp 4.250 per kg. Jika dibandingkan dengan kisaran harga retail Pertamina sebesar Rp 9519 tanpa disubsidi.

3.Bijak di dapur, hemat dikantong.

Walaupun dapur dan segala aktivitasnya menjadi sumber pemborosan terbesar di rumah. Ini adalah kiat untuk mengatasinya.

-Memasak secukupnya sesuai jumlah anggota keluarga untuk makan sehari saja

-Cegah hilangnya panas dari api dengan mutup panci/ wajan dengan penutupnya. Panci yang terbuka akan membuang banyak panas, masakan pun jadi lebih lama matang, bahan bakar yang terpakai lebih besar.

-Matikan kompor sebelum masakan benar-benar matang. Biarkan sisa panas yang masih menempel pada wajan/panci melanjutkan proses pematangan masakan tanpa perlu menggunakan api.

4.Menggunakan bahan bakar alternative

-Liquefied natural gas (LNG) bisa menjadi alternatif karena deposit LNG yang dimiliki Indonesia cukup besar sehingga menekan ketergantungan Indonesia kepada negara lain dalam memproduksi LPG. Bahan dasar LPG sebagian besar masih diimpor. Dan jika ada alternatif LNG, mayoritas bahan dasar bisa diperoleh dari dalam negeri dan diproduksi sendiri.

-Arang briket berbahan enceng gondok.

Terkait dengan keresahan masyarakaat yang mulai kesulitan mendapatkan gas LPG bersubsidi, beberapa sekolah siap memproduksi massal arang briket enceng gondok ini sebagai bahan bakar alternatif. Harusnya pemerintah peka terhadap inovasi ini.. Apalagi bahan bakunya juga melimpah di seluruh indonesia.

-Dimethylether (DME) sebagai bahan bakar pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG).

DME adalah bahan bakar alternatif ramah lingkungan dapat diproduksi dari sumber bahan baku yang beragam, mencakup gas alam, bio massa dan batubara. DME bisa dipakai sebagai bahan bakar ramah lingkungan dan bahan baku kimia. Potensi pasar DME yang sangat besar memungkinkan terciptanya industri dalam rantai suplainya.

-Biogas dari kotoran sapi untuk keperluan memasak sehari-hari

Dengan memanfaatkan kotoran ternak, masyarakat tidak lagi dipusingkan dengan kenaikan harga LPG. Masyarakat juga tidak terpengaruh dengan kekosongan stok LPG ukuran 3 kilogram yang juga langka di pasaran. Kotoran sapi yang setiap hari tersedi di kandang tinggal dimasukan ke bak penampungan untuk dapat menghasilkan biogas.

Referensi


  • teknologi.news.viva.co.id (16/09/2014)
  • tribunnews.com (16/09/2014)
  • sm4rtclean.com (16/09/2014)
  • berita.suaramerdeka.com (16/09/2014)
  • liputan6.com (16/09/2014)
  • republika.co.id (16/09/2014)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun