Leretan kisah di Nanggroe Aceh Darussalam di satu masa sangat sarat dengan konflik vertikal. Itu kita pahami sebagai satu realita sejarah tersendiri. Tak terhitung berapa banyak jiwa melayang demi sebuah -isme yang dalam istilah Bennedict Anderson dimaknai sebatas “komunitas yang terbayang”. Waktu bergulir, kabar perdamaian pun menggema di seantero bumi Aceh.
Masyarakat Aceh telah lelah dengan tumpahnya darah anak bangsa. Lelah pula dengan nyinyir darah, desir senjata dan asap ledakan kala senja menjelang. Tapi dari lubuk hati terdalam, saya meyakini masyarakat Aceh tidak pernah lelah menatap masa depan yang lebih baik, seberapapun sulit imaji menjangkaunya.
Ah, jika sudah begini rasa-rasanya saya ingin memutar waktu ke abad 15 dan menuntut Sir Thomas More untuk urungkan saja niatnya terbitkan buku Utopia. Agar kita tak mengenal kata itu, serta pesimisme tak mudah menghampiri benak kita semua.
***
Ada sebuah kisah yang disampaikan kepada saya oleh mitra lokal THK tentang parahnya kondisi di Aceh kala status DOM masih disematkan di propinsi yang terkenal dengan biji kopinya.
Saat itu waktu menunjukkan pukul 01.20 dini hari. Kami melewati satu gampong bernama Asam Peutik, Matang Setui, dalam perjalanan untuk mendistribusikan 11 ekor sapi amanah dari donatur THK Dompet Dhuafa untuk disalurkan ke pelosok terdalam kota Langsa.
Aspal yang kami lewati cukup mulus untuk ukuran daerah pelosok yang jauh dari peradaban ibukota. Sejenak saya berdecak kagum atas kemampuan pemda setempat dalam mengelola anggaran infrastruktur. “Di Langsa, tak ada jalan yang tak di aspal”, bangga sang mitra THK yang murah senyum ini berkisah di lain waktu.
Motor scoopy yang kami tunggangi memacu kencang menembus dinginnya malam, berusaha mengejar mobil bak pengangkut sapi kurban yang telah jauh berada di depan. Bang Doli – begitu saya memanggil mitra THK ini – bercerita tentang seramnya wilayah yang sedang kita lewati ini.
“Mas arif, dulu kalau kita lewat daerah ini, jam-jam segini, saya bisa pastikan kita tidak bisa keluar selamat. Ini daerah rawan”, ucapnya tegas.
Saya tertegun.
Mata saya bergerilya ke kiri-kanan, mencoba mencerna kalimat tersebut dengan menggali “informasi” dari apa yang bisa saya lihat.
Sangat sulit. Gelapnya malam terlalu pekat. Hampir tak ada rumah yang dapat dijadikan sandaran cahaya. Tak perlu pula berharap pada penerangan publik. Tidak ada satu pun pancang besi yang dipasang oleh BUMN yang urusi listrik di negeri ini. Seperti tempat “Jin buang anak” saja, saya berseloroh dalam hati.
Indera lain mengambil peran. Penciuman saya merasakan wangi rumput liar. Sesekali terdengar jangkrik bersautan.
Kita melewati padang rumput luas. Imajinasi saya bermain. Di kejauhan siluet berbentuk jejeran pohon menguatkan persepsi sementara saya.
“Ada apa bang dengan daerah ini?” tanya saya kemudian.
“Kita bisa dicurigai oleh TNI sebagai pemasok logistik untuk GAM. Tapi kalau tidak ditanya-tanya oleh tentara, kita bisa ketemu dengan anggota GAM dan dicurigai membantu TNI. Kalau tak pandai berkelit, hilang sudah nyawa kita”, pungkasnya dengan logat Aceh yang kental.
Simalakama, maju-kena-mundur-pun-kena. Tak heran saat itu tidak ada yang berani melewati kampung ini.
Bang Doli melanjutkan kisahnya. “Mas arif pernah melihat langsung ledakan? Saya pernah mas. Jaraknya kira-kira kayak (kita) ini dengan yang di depan”, seraya menunjuk mobil bak pengangkut sapi kurban THK Dompet Dhuafa yang kini hanya berjarak kisaran 50-80 meter saja.
Narasi konflik bersenjata Aceh yang dulu hanya bisa saya baca di literatur perkuliahan, kini sangat dekat saya rasakan. Bayangan kontak senjata antara kombatan GAM dengan prajurit TNI yang ketat bak film Saving Private Ryan, karya klasik gubahan sutradara Steven Spielberg menjadi referensi saya dalam membayangkan kondisi Aceh saat itu. Tak sadar, saya bergidik cukup hebat.
***
Kini, damai telah menyambangi bumi Aceh. Dini hari kami menelusuri gampong-gampong di pelosok Langsa tanpa perasaan was-was sedikit pun. Distribusi sapi-sapi THK dengan bobot berkisar antara 270-370 kg pun bisa dengan aman saya lewati.
Dini hari itu, satu-per-satu kami mengetuk rumah-rumah pak gechik menyampaikan amanah donatur kurban THK Dompet Dhuafa untuk disalurkan kepada warga yang membutuhkan. Tak sedikit gechik dan imam masjid yang berdecak kagum dengan ukuran lembu – begitu masyarakat Aceh menyebut sapi – dari THK Dompet Dhuafa.
“Puluhan tahun saya menyembelih (kurban), baru kali ini saya memotong lembu sebesar ini”, komentar satu imam masjid di gampong Kebon Ireng, Kota Langsa.
Di sini saya harus mengapresiasi sistem kontrol kualitas yang ketat diterapkan oleh tim THK Dompet Dhuafa. Ternak yang tidak lolos uji validasi kualitas dan syariat Islam dapat dipastikan tidak mungkin disalurkan kepada masyarakat. Buktinya ternak yang saya bantu distribusikan ukurannya sangat besar.
Selain itu, konsep THK Dompet Dhuafa yang memberdayakan peternak lokal di pelosok nusantara menjadi nilai tambah (added value) tersendiri. Jalur distribusi yang seringkali menerobos akal sehat infrastuktur jalanan hingga titik-titik terisolir di ribuan desa saya tebak turut menyumbang poin khusus dalam menarik minat para donatur THK Dompet Dhuafa.
Saya beruntung ditempatkan di daerah yang kondisi jalanannya relatif baik, sehingga tidak begitu sulit mendistribusikan kurban-kurban itu hingga ke lokasi tujuan.
Rona kebahagiaan ratusan warga tidak mampu di pelosok Kota Langsa yang menjadi penerima manfaat THK Dompet Dhuafa menjadi pemandangan yang akrab saya temui siang hingga sore tadi.
Mungkin kurban ini tidak akan banyak berpengaruh dalam menghapus memori kelam konflik masa lalu di Aceh. Tapi sekecil apapun ikhtiar berbagi yang telah diperbuat, biarlah itu menjadi kerikil yang senantiasa menggelinding hingga membesar bak bola salju dan memberi dampak yang lebih besar; pada saatnya. Semoga.
Tabik,
~arh~
Hari tasyrik ke-2
Jelang subuh, di tengah dinginnya kaki gunung Sinabung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H