Mohon tunggu...
Arif R. Haryono
Arif R. Haryono Mohon Tunggu... -

terkadang menulis, jarang bekerja, seringnya melamun dan bermimpi di siang bolong:....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasionalisme Cair "Man of Steel" dan Komunitas Terbayang Benedict Anderson

24 Juni 2013   16:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:30 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Superman (memang) bukan tokoh fiksi biasa!”. Begitu kira-kira gumaman saya pasca menonton film besutan Zack Snyder, Man of Steel. Tapi bukan kebiasaan yang biasa yang ingin coba saya hadirkan di sini.

***

Tulisan berikut tidak akan mempertegas kisah klasik Kal-El yang berasal dari ras krypton lalu hidup “menumpang” di bintang terbelakang bernama Bumi. Bukan pula tentang kekuatan Superman sulit dicarikan lawan tandingnya atau memiliki kelemahan raga laiknya orang tua asuhnya di Bumi. Bukan soal itu.

Kal-El a.k.a Superman, lebih jauh, adalah personifikasi sahih dari kultur sosial masyarakat, jika tak mau disebut pemerintahan Amerika Serikat; yang merindu hegemonitas atas sesamanya dan pengejawantahan mimpi ambisi AS sebagai penjaga ketertiban dan kedamaian: dibawah satu panji Stars and Stripes. Superman kini telah berkembang jauh menjadi perspektif kontemporer bangsa Amerika terkait geopolitik dan tata kelola dunia.

Saya tak main-main ketika menyatakan demikian. Awal 1990 ketika Dan Jurgens, dkk menulis 3 serial komik dengan tajuk “The Death of Superman” banyak pengamat sosial menyandarkan ini sebagai matinya budaya modern pop AS. Superman, The Man of Steel yang tak bisa tembus oleh peluru setajam apapun, tumbang di tangan Doomsday. Dan Amerika juga bukan peradaban serba Maha yang tak dapat luluh-lantak.

Maka, jika kita bisa bersepakat bahwa Superman adalah ikon bangsa Amerika Serikat, bagaimana ketika sang manusia super tidak diperankan aktor berkebangsaan Amerika Serikat?

Henry Cavill, adalah aktor Inggris, kandidat kuat untuk memerankan James Bond (ikon masyarakat Inggris) post Pierce Brosnan. Bahkan konon Henry tinggal berhadapan dengan Daniel Craig dalam reboot Casino Royale. Russell Crowe, sang Jor-El berkebangsaan Australia. Laurence Fishburne yang memerankan editor bertangan dingin Perry White adalah warga “kelas dua” (Ia berkulit hitam). David Goyer, sang penulis naskah adalah peranakan Yahudi minoritas. Masih kurang? Ayolah, Christpher Nolan sang produser pun kelahiran Inggris!

Lalu adakah orang Amerika tak berkeberatan ikon budayanya diperankan “orang asing”? Ataukah sebenarnya batas “ke-Bangsa-an” (dengan kapital “B”) masyarakat Amerika tidaklah se-saklek sebagian besar orang Inggris?

***

Pernah menyimak lagu kebangsaan Inggris Raya?

O Lord Our God, arise
Scatter her
His enemies
And make them fall
Confound their politics
Frustate their knavish tricks
On thee our hopes we fix
God save us all

Kidung puja atas konsep Monarki dalam God Save The Queen secara demonstratif menunjukkan jati diri bangsa Inggris Raya yang protektif; kepada kerajaan, kepada pemerintahan, kepada masyarakat. Diksi “enemies” yang disandingkan dengan “scatter”, “confound”, hingga “frustate” adalah bukti tersebut.

Sementara Amerika sebagai bangsa, dalam hemat saya, cenderung “cair” dalam mendefinisikan ke-Bangsa-annya. Entah karena faktor historis nature bangsa Amerika yang datang dari pelbagai penjuru dunia, imigran pesakitan dan kriminal dari Inggris, hingga faktor multikulturalisme yang hadir sebagai jawaban atas keberagaman masyarakatnya. Maka tak heran agak sedikit sulit untuk mendefinisikan “bangsa” dan “nasionalisme” ala Amerika. Bisa jadi masyarakat Amerika modern adalah buah dari, meminjam istilah Tom Nairn, patologi sejarah masa lampaunya.

Fenomena bangsa Amerika dan Sang ikon kultural yang (sedang dalam masa) tercerabut dari akarnya didefinisikan dengan apik oleh Benedict Anderson sebagai sebuah “imagined communities” (komunitas terbayang) antar individu yang membentuk kelompok besar nan berdaulat bernama bangsa. Terbayang karena bisa jadi antar anggota bangsa di dalamnya tidak saling mengenal satu sama lain, tidak memiliki kepentingan yang sama, tetapi tetap memiliki identitas yang “serupa”. Apapun itu.

Faktor identitas ke-bangsa-an seringkali menjadi isu sensitif, terutama ketika berhadapan dengan ikon budaya yang telah mengakar kuat di masyarakatnya. Dalam term film, misalnya, seringkali ada garis batas kredo yang tidak boleh dilanggar, seberapapun kreatifnya sang produser, penulis script hingga sutradara. Disini saya banyak menemukan sineas Inggris cenderung lebih protektif dalam pemilihan line-up pemain ketimbang AS.

Contoh: pemeran James Bond haruslah orang Inggris asli, bukan Skotlandia, Irlandia, apalagi membayangkan berkewarganegaraan Asia. Kasus lain, J.K. Rowling, penulis Harry Potter, bahkan pernah memveto keputusan Steven Spielberg (yang saat itu masih berstatus calon sutradara) ketika menyatakan niatnya akan menggunakan jasa Elijah Wood untuk memerankan Harry Potter, hanya karena Wood bukan orang Inggris. Rowling memang menyetujui Harry Potter di-film-kan dengan salah satu syaratnya adalah semua aktor/aktris adalah native Inggris Raya (Inggris, Skotlandia, Irlandia).

Man of Steel adalah satu contoh kecairan masyarakat Amerika dalam membayangkan (imagining) nasionalisme dan ikon kultural di dalamnya. Di sisi lain, Eropa masih terperangkap pada definisi ke-bangsa-an yang sempit a la Adolf Hitler, yang mengagungkan satu ras atas lainnya. Tengoklah stadion-stadion di Eropa yang masih fasih menyanyikan chant berbau ejekan kepada ras (suku bangsa) tertentu. Di sini hemat saya warga Amerika pantas bertepuk dada di hadapan “saudara tua”nya

Namun sisi lain nasionalisme cair Man of Steel juga telah membuktikan kegagalan rakyat Amerika dalam membangun kesamaan pandang atas identitas dan ikon bangsa. Apa ini negatif? Tidak juga, setidaknya ketika nasionalisme dan rasa ke-bangsa-an itu tidak didefinisikan secara ajeg, warga Amerika telah memilih warga “kelas dua” sebagai Presiden, hal yang belum bisa dilakukan oleh bangsa Eropa, terutama Inggris.

24 Juni 2013
Sore merah-muda di Ciputat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun