Mereka yang berpikir politik pencitraan sudah almarhum(ah), saya sarankan cepat-cepat ubah pendapatnya kembali. Politik pencitraan di Indonesia belum akan mati, paling tidak dalam waktu dekat.
***
Sepekan ini, publik geger dengan perilaku Bupati Garut yang meminang seorang gadis desa di bawah umur. Makin geger dengan perubahan sikap sang Bupati yang menceraikannya dalam hitungan kurang dari satu minggu.
Pesan singkat kasar sang bupati yang ditujukan kepada sang gadis beredar luas. Emosi publik tersulut. Arus simpatik mengalir deras pada sang gadis. Sang Bupati semakin terpojok. Di lain tempat, massa menggeruduk kantor DPRD dan kantor Bupati, meminta pertanggungjawaban atas kelakukan (ng)Aceng sang Bupati.
Si Aceng tak patah semangat dan hilang akal. Ia lalu “meminta” panggung di sebuah TV nasional untuk menjelaskan duduk-persoalan secara gamblang dan jelas. Versi beliau tentunya. Apa lacur, bukan dukungan yang diterima, badai sumpah-serapah justru makin kencang. Pandangan saya yang fakir ilmu ini, Aceng gagal (meng)Aceng(kan) persepsi publik. Pendulumnya senantiasa berada di kutub negatif.
Hingga kini, ia masih tetap berusaha membalikkan persepsi negatif dirinya. Tak sekedar tampil di ruang berita politik, kini ia pun rajin bersolek di ruang redaksi infotainment.
Kasus bergulir
Tahta sang Bupati digoyang deras.
Karir politiknya pun terancam kandas.
Tapi, siapa yang berani menjamin?
***
Semalam, pimpinan KPK Bambang Widjajanto melansir beberapa inisial yang dikenakan cegah-tangkal ke luar negeri. Satu inisial memantik rasa ingin tahu. Publik yang diwakili oleh awak media berpretensi pada satu nama, sang Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Alifian Malaranggeng. Pada saat kasus Hambalang mencuat, namanya memang senantiasa disebut-sebut oleh (mantan) kamerad-nya di Partai yang saat ini sedang di bui.
Meski BW tidak menyebut nama, namun tak perlu mengernyitkan dahi untuk menebak sang empu inisial. Mereka yang tiap hari melahap informasi melalui jendela media daring, cetak, ataupun elektronik akan sangat mahfum dengan inisial-inisial tersebut. Mereka begitu dekat dengan kekuasaan. Ia pun tak kurang dari tangan-kanan Sang Panglima Pemberantasan Korupsi
KPK kini sedang kelitiki Istana.
Publik terhenyak.
Sejarah baru sedang diukir institusi KPK.
Semoga khusnul khatimah
Pagi masih berawan, setidaknya di Ciputat, daerah saya sedang menulis ini. Saya pula sedang membayangkan keber-awan-an di hati sang menteri. Semalam mungkin ia sedang ber-munajat meminta petunjuk Sang Maha Kuasa. Bisa jadi pula sedang mengawang-awang masa-masa di balik jeruji nanti (konon, jika KPK sudah menetapkan seseorang menjadi tersangka maka hanya ada 2 pilihan yang akan dihadapi: dipenjara dalam waktu lama atau dipenjara dalam waktu tak begitu lama). Beberapa sambungan telepon pasti akan dilakukan, meminta dukungan dan doa. Itu penting bagi mereka yang sedang dirundung musibah.
Tepat pukul 10.00, sang Menteri berujar pengunduran dirinya kepada khalayak. Presiden pun menerima pengunduran diri sosok yang terkenal dengan kumisnya yang tebal. Dulu, kumis ini lah yang menghantarkan beliau menjadi “the most desirable person” versi ibu-ibu rumah tangga.
BUM…!!
Linimasa akun tiwtter saya dipenuhi oleh puja-puji atas sikap dan tindakan sang (mantan) menteri. Kolega, awak media, hingga aktivis sosial mengapresiasi tindakan Menteri Olahraga yang tak pernah jadi atlet nasional ini. Seakan kita alpa dengan besaran kerugian negara atas kasus Hambalang yang dilakukan oleh Kementrian yang dipimpin oleh Menteri Pemuda yang tak sekalipun pernah menjadi pimpinan Organisasi Kepemudaan (OKP). Setidaknya beban KPK dalam melakukan penyelidikan akan berkurang; beban yang datang dari tembok bernama “birokrasi istana”.
Andi Malaranggeng sedang selamatkan wajah Presiden?
Atau memang hati nuraninya yang menunjukkan langkah lengser keprabon ini?
Jika demikian, mengapa ketika bawahannya dijadikan tersangka ia tak kunjung melangkah?
***
Saya repetisi kalimat awal saya; anda sekalian yang pernah ucapkan selamat jalan pada Politik Pencitraan silahkan tarik kembali salam perpisahan itu.
Masyarakat negeri ini adalah masyarakat yang rindu akan kisah-kisah heroik, mudah syahdu dengan cerita-cerita mulut sang pahlawan. Padahal bisa jadi pahlawan itu curang. Analogi kecil, kita selalu terkesima dengan sosok Yudhistira sang Putra Pandu sebagai pribadi yang jujur, adil, dan tak mungkin berbuat curang. Tapi tahukah anda bahwa Yudhistira adalah seorang raja yang gemar berjudi, pernah punya sejarah mempertaruhkan istri dan adik-adiknya, dan membohongi gurunda Durna agar peroleh kemenangan di Medan Kurusetra?
Aceng dan Andi Malaranggeng adalah contoh terbaik atas upaya pemanfaatan sifat mudah-lupa dan romantisme masyarakat Indonesia. Belum lagi ini adalah era di mana banyak wahana dan media yang bisa dimanfaatkan. Media menjamur, sosial media murah-meriah. Memang, tak mudah membalikkan persepsi publik; butuh usaha, daya, modal, dan tentu saja – konsultan politik yang handal. Keduanya saya yakin memiliki modal-modal tersebut.
Ada yang berani membayangkan
Aceng sebagai kandidat Cagub Jawa Barat 2018?
atau Andi Malaranggeng masuk bursa Capres 2019?
Saya berani. Bukankah Indonesia negeri surga-nya kemungkinan?
Jadi, bentornato (selamat datang kembali) politik pencitraan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H