Medio 2003. Jusuf Kalla (JK) saat itu menerima rombongan pegiat zakat. Pertemuan berlangsung hangat. Tak ada yang istimewa dari pertemuan itu hingga JK mengeluarkan pernyataannya yang cukup mengagetkan. Beliau menyatakan bahwa pemerintah tak perlu ikut campur dalam pengelolaan zakat dan membiarkan masyarakat untuk mengelolanya sendiri. Argumentasinya sederhana, “saya tidak mempercayai pemerintah”
Kalimat JK lugas, tak pula sedang bermetafora, tak perlu memeras keringat untuk memahami maksudnya. Namun hemat saya tetap saja pernyataan tersebut harus dimamah sampai halus. Namun satu pertanyaan dapat diajukan dengan mengambil pernyataan tersebut sebagai inti persoalan: “adakah aparatur pemerintahan sedang mengalami krisis legitimasi sehingga simbol negara sendiri pun tidak mempercayai mereka untuk mengelola dana kedermawanan publik?”
***
Zakat di Indonesia memang tak bisa dipisahkan dari diksi “kepercayaan” (trust). Meski Indonesia menyandang gelar negara dengan basis penduduk Muslim terbesar dunia, namun mekanisme pembayaran zakat di Indonesia tidak menganut pewajiban (obligatory system). Indonesia “memilih” mekanisme sukarela (voluntary system) di mana pengelolaan zakat ditangani oleh pemerintah dan masyarakat sipil tanpa adanya sanksi hukum bagi yang tidak menunaikan zakat . Maka tak heran tingginya angka pengumpulan dana publik yang dikelola oleh lembaga zakat – terutama yang dinisiasi oleh masyarakat - lebih banyak dipengaruhi keberhasilan lembaga zakat dalam membangun kepercayaan masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen dan akuntabilitas publik. Postulatnya adalah “profesionalitas membuahkan kepercayaan”
Persoalan kepercayaan ini pula yang sempat membuat limbung negara-negara adidaya pasca Perang Dunia II. Faktor kelesuan ekonomi, krisis fiskal, dan ketidakpuasan warga negara atas praktek pengelolaan lembaga negara membuat banyak negara melakukan perubahan paradigma atas poros kekuasaannya dari state-heavy menjadi lebih berorientasi pada masyarakat. Dalam perspektif Habermas, fenomena ini bisa dilihat sebagai adanya krisis legitimasi pranata pemerintahan akibat dari krisis lain yang mendahului (ekonomi atau politik) . Maka tak heran banyak negara dunia mengadopsi prinsip desentralisasi kewenangan pusat ke daerah atau diberikan kepada masyarakat melalui auxiliary institutions (lembaga penunjang) pada pola manajemen pemerintahannya.
Pada konteks pengelolaan zakat di Indonesia, desentralisasi kewenangan itu sedianya diberikan ruang yang cukup luas pada UU no. 38 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, di mana negara memberikan kedudukan yang sejajar bagi masyarakat bersama pemerintah untuk bersama-sama mengelola dana publik keagamaan (zakat, infak, sedekah, dan dana lainnya). Tak heran di Indonesia kemudian dikenal dua macam lembaga pengelola zakat, yaitu BAZ (Badan Amil Zakat) yang dibentuk oleh pemerintah dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang diinisasi oleh masyarakat sipil . Hal ini berbeda dengan negara lain yang hanya mengenal single-authority laiknya Saudi Arabia, Pakistan, atau Sudan. Kesetaraan posisi di mata hukum antara lembaga zakat bentukan pemerintah maupun masyarakat sipil juga jelas tertera pada pasal 8 UU no. 38/99 yang menyamakan tugas pokok kedua lembaga ini, yaitu untuk mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat.
Paradigma baru muncul ketika UU no. 23 tahun 2011 mengenai Pengelolaan Zakat hadir sebagai regulasi pengganti UU 38/99 yang dirasa sudah tidak sesuai dengan kondisi jaman. Pada UU ini, BAZNAS sebagai lembaga bentukan pemerintah, berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional dengan dibekali 4 fungsi dasar, yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan (operating), pengendalian (supervising), serta koordinator (coordinating) pelaporan zakat di semua tingkatan. Sementara masyarakat melalui LAZ secara an sich diberikan ruang untuk membantu BAZNAS dalam melakukan kerja-kerja pengelolaan zakat.
Saya membayangkan bila UU 23/11 ini berlaku penuh dengan mengamanahi BAZNAS hingga tingkat daerah sebagai sentrum pengelolaan zakat, maka kantor-kantor BAZNAS di daerah akan menjadi pumpunan peradaban zakat Indonesia. Dari sinilah kira-kira akan muncul ruang-ruang kerja dinamis pengentasan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Itu tentu menjadi asa bersama. Kini pertanyaannya, siapkah organisasi BAZ hingga tingkat terendah mengelola dinamika tersebut?
Satu prasyarat dapat diajukan terkait kesiapan BAZNAS daerah dalam menjadi pusat kegiatan zakat, yaitu kemampuan mengelola keterbukaan informasi publik. Penelitian yang dilakukan oleh IMZ pada tahun 2011, dan sempat pula dipresentasikan di hadapan BAPPENAS, ditemukan satu fakta menarik terkait kinerja lembaga zakat pemerintah ini. Dalam survey yang dilakukan terhadap 356 BAZ daerah di seluruh Indonesia ditemukan fakta bahwa hanya 108 BAZ (30,34%) saja yang mempunyai kesiapan dan memberikan tanggapan atas informasi publik yang dipinta. Selebihnya gagal menunjukkan kinerja penyediaan informasi publik yang par excellence.
Sedikitnya ada 5 (lima) kasus yang mencuat terkait kesiapan lembaga zakat tersebut dalam menyediakan informasi publik. Pertama banyak BAZ mempunyai SK pengangkatan organisasi namun tidak memiliki aktivitas di alamat kantor yang tertera. Kedua, ketidaksinkronan alamat dan nomor kontak pejabat dan lembaga yang bersangkutan. Banyak kasus ditemukan bahkan kantor BAZ masih menumpang di kantor instansi lain sehingga sulit bagi masyarakat untuk mengaksesnya. Ketiga, banyak pengurus BAZ pada tingkat middle-up merupakan pejabat struktural di instansi lain. Hal ini membawa konsekuensi pada lambannya proses permintaan informasi publik karena harus menghubungi pejabat yang bersangkutan yang sering kali tidak berada di tempat. Keempat, sering sekali ditemukan fakta kantor BAZ kosong pada jam-jam kerja. Jika dirata-rata, akan membutuhkan minimal 3 (tiga) kali percobaan sambungan telepon hingga diangkat oleh pengurus yang bersangkutan. Dan kelima adalah masih lemahnya sistem manajemen dan budaya organisasi dari kebanyakan BAZ. Jamak sekali ditemukan dikarenakan persoalan ketidakhadiran pengurus middle-up membuat pengurus di tingkat operasional tidak berani mengambil inisiatif mengambil keputusan-keputusan strategis maupun teknis.
Padahal jika menilik data lain yang juga dilansir oleh IMZ dalam tajuk Indonesia Zakat and Development Report 2012 (September, 2012) persoalan BAZ bukan terletak pada kualitas SDM amil yang dimiliki. Dari 4.541 amil yang bekerja pada 168 OPZ yang disurvei misalnya 84,4 persen amil BAZ adalah lulusan setara sarjana dan/atau lebih, berbanding terbalik dengan jumlah amil LAZ yang hanya 54,7 persen. Sangat sedikit pengurus BAZ yang hanya lulusan SMA ke bawah, yaitu 10,9 persen dan selebihnya adalah berpendidikan diploma (4,7 persen). Kesimpulannya, meski ditopang dengan amil yang berpendidikan tinggi, kinerja BAZ dalam hal fundamental seperti keterbukaan informasi publik masih lemah. Berkaca dari data, saya mahfum jika kemudian banyak pihak meragukan kinerja BAZNAS daerah bilamana diamanahi koordinator, pengendali, perencana, dan pelaksana dari kegiatan zakat.
***
Tidak mudah mengelola kepercayaan publik. Banyak lembaga mampu menjadi besar namun dalam selintas waktu hancur berantakan akibat kegagalan mengelolanya. Maka membangun kepercayaan tak bisa main-main, butuh waktu membangun agar tak repas di pondasi. Menyandarkan datangnya kepercayaan atas secarik kertas regulasi adalah tindakan tak bijak, harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas, integritas dan etos kerja yang tinggi. Jika negara saja bisa limbung karena tak mampu kelola kepercayaan publik, apalagi hanya “sekedar” lembaga pengelola 2,5 persen dana masyarakat?
diunggah dari artikel penulis via sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H