Mohon tunggu...
Arif Furqhan
Arif Furqhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Penulis/Penggiat Akademik

Seorang Mahasiswa Jurusan Antropologi Sosial. Saya tertarik dengan berbagai isu-isu sosial dan politik di masyarakat. Menilik dan berdiskusi tentang berbagai hal dari dua sudut pandang yang berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Reformasi 1998: Serangkaian Penyebab Mengapa Sulit Terjadi Kembali di Rezim Jokowi

15 September 2024   13:05 Diperbarui: 15 September 2024   14:02 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari dua dekade yang lalu, Indonesia melewati momen perubahan yang besar dan telah mengubah pemerintahan bangsa ini dari diktaktorial menjadi negara yang demokratis. Sebuah momen akbar yang diabadikan dalam catatan sejarah bangsa Indonesia pada 14 Mei 1998, diprakasai oleh mahasiswa bersama masyarakat telah berhasil menutup masa Orde Baru serta menggantinya dengan tajuk Reformasi. Era ini diharapkan mampu memberikan ruang yang lebih luas dan responsif terhadap kepentingan rakyat. Namun, setelah 3 dasawarsa lamanya, apakah visi yang termaktub itu sudah memperlihatkan rupanya atau justru malah sekadar isapan jempol belaka?

Arah pandangan kita perlu dipandu kembali kepada peristiwa turunnya Soeharto pada 21 Mei 1998: bagaimana kekecewaan rakyat hari itu bisa menggelora selepas 32 tahun dikekang dengan pembangunan yang sarat akan korupsi, "oknum" pemerintahan yang kolusi, dan kehidupan rakyat dipenuhi wajah-wajah pemimpin hasil perkawinan nepotisme. Keadaan ini menyulut kekecewaan rakyat ketika dampaknya mulai mengancam perekonomian masyarakat bersamaan dengan arus krisis moneter Asia dari tahun sebelumnya. Padahal, Indonesia di zaman Soeharto telah berhasil memberantas kemiskinan dari 60% menjadi 11% pada tahun 1996. Bahkan gelombang inflasi ini tidak terendus dengan peningkatan yang baik di sektor makro perekonomian Indonesia kala itu disertai kucuran yang masih deras dari investor. Ditambah lagi pada 1997, Indonesia tengah bersiap menyambut "era tinggal landas" yang diserukan Soeharto dengan mengkhatamkan Program Jangka Panjang 25 Tahun (PJP) Tahap I selama 1968 -- 1993. Hanya dalam jangka waktu semalam, istilah "era tinggal landas" bersulih membawa arti pencapaian bangsa Indonesia yang tidak jadi tergapai.

Krisis Moneter Asia bukanlah momen yang receh. Rupiah anjlok hingga 109,6% hanya dalam jangka 6 bulan, dari Rp.2.500 per Dolar AS pada Juli menjadi Rp.16.800 di bulan Desember. Investor-investor asing bergantian mencabut cetak birunya di Indonesia. Harga bahan pokok yang mencekik, daya beli lesu, hingga ketidakstabilan politik kala itu memborgol rakyat satu per satu. Bukan hal yang ganjil suara rakyat dari seluruh Indonesia meraung pada puncaknya di 14 Mei 1998, memaksa Soeharto untuk turun dari jabatannya. Keadaan ini telah mengubah dunia perpolitikan Indonesia terutama, dibarengi kebijakan-kebijakan dari Presiden B.J. Habibie yang mampu memulihkan perekonomian dengan menguatnya nilai tukar Rupiah di kisaran Rp7.000 -- Rp8.000 per dolar AS di akhir jabatan singkatnya. Mahasiswa yang memprakasai aksi ini menyebutnya dengan tranformasi ke era Reformasi.

Dari pemaparan singkat tentang mundurnya Soeharto, Era Reformasi memberikan arti bernuansa kemajuan ekonomi dan pemerintahan yang demokratis. Tentunya tidak lazim ketika di tubuh Reformasi malah diisi dengan kemunduran ekonomi bersamaan dengan pengekangan suara rakyat. Evaluasi perlu kita lakukan sekarang: sudah sejauh mana implementasi untuk mencapai cita-cita reformasi itu hingga kini. Apakah demokrasi berjalan dengan semestinya diikuti pergerakan maju di bidang ekonomi, atau justru malah dikuliti dengan tabiat di tubuh pemerintahan yang sarat KKN dan kemunduran pertumbuhan ekonomi.

Satu Dekade Kepemimpinan Jokowi 

            Bapak Joko Widodo adalah Presiden Indonesia ke-7 yang menjabat sejak 2014 lalu. Dua periode yang beliau jalani bersama dua wakil presiden yang berganti mungkin sedikit lebih tenang dibandingkan dua periode kepemimpinan presiden sebelumnya. Ada 4 demonstrasi besar yang diladeni oleh rezim Jokowi ketika dan terakhir adalah unjuk rasa penolakan RUU pilkada 22 Agustus 2024 lalu. Suasana unjuk rasa tahun tersebut terlihat hampir serupa dengan unjuk rasa tentang UU Cipta Kerja pada tahun 2020 yang terjadi di banyak provinsi. Warna demonstrasi yang berbeda akan kita temukan di sini; dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dihiasi unjuk rasa yang lebih banyak hanya terfokus pada kenaikan BBM. Tercatat dari 5 kali demonstasi besar yang terjadi sepanjang 2004 -- 2014 (berbeda satu kali dibandingkan kepemimpinan Jokowi), 4 diantaranya adalah penolakan terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang dihadapkan kepada SBY.

Sedangkan unjuk rasa di dua periode Presiden Joko Widodo diwarnai beragam kebijakan pemerintah yang memberatkan rakyat, sekalipun ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,12% yang didomplengi oleh kenaikan BBM, jatuhnya nilai tukar rupiah sampai-sampai hampir menyentuh angka tertinggi kembali setelah krisis 1998, tidak profesionalnya jajaran menteri kabinet Indonesia Maju ala Jokowi, dan isu nepotisme yang menempatkan tali darah Presiden di tubuh-tubuh penting pemerintahan: inilah serangkaian wajah politik Jokowi di enam bulan pada 2024. Demonstrasi yang terjadi ibarat sebuah representasi yang terlalu kecil untuk menggambarkan carut-marut negeri ini di era rezim Jokowi. Isu yang paling mencuat sepanjang tahun ini adalah nepotisme yang terendus oleh rakyat setelah pengangkatan Bobby Nasution (menantu Jokowi) sebagai walikota Medan, Februari 2021 lalu. Rakyat kembali disulut amarahnya dengan upaya DPR menjegal keputusan MK tentang Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang akhirnya tidak jadi disahkan tepat setelah terjadi demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah.

Isu lain yang mungkin tidak lebih pamor dari nepotisme adalah patronase ekonomi yang merekat menjelang pemilu 2024 dilaksanakan. Buku Ministering in Patronages Cultures (2019: 9-11) menyebutkan, patronase adalah hubungan timbal balik antara patron dan klien. Patron adalah pihak yang lebih unggul dengan sumber daya dan kekuasaan untuk membantu orang lain. Patron menggunakan pengaruh dan kekayaan mereka untuk memastikan keamanan dan kelangsungan hidup orang lain melalui kedermawanan mereka dalam melindungi dan menyediakan kebutuhan orang-orang yang berada di bawah perawatan mereka. Sedangkan klien adalah makhluk sosial yang lebih rendah yang melekatkan diri pada patron untuk mendapatkan perlindungan dan sumber daya. Untuk menjaga hubungan patronase, klien harus membalas ketika mereka menerima bantuan dari patron. Namun, klien tidak sekaya patron, jadi alih-alih membayar kembali secara finansial, mereka membayar kembali dengan menghormati patron. Seorang klien menawarkan kepatuhan, rasa terima kasih, kesetiaan, dan solidaritas kepada patron.

Patronase bukanlah hal yang aneh di Indonesia. Budaya patronase tumbuh bersama masyarakat yang dikenal menganut politik balas budi yang intens. Sederhananya, patronase mudah kita lihat implementasinya di perangkat masyarakat: ketika seorang pejabat membantu rakyat dengan menyediakan fasilitas, rakyat tentu harus patuh dan hormat dengan pejabat yang amanah tersebut. Sekilas tidak ada yang salah dari tindakan ini, tetapi justru ada celah dalam manuver patronase yang rapi ini dan akan memicu tindakan korupsi. Selain itu yang lebih berbahaya, patronase akan memunculkan kaum-kaum fanatisme pada seorang tokoh yang mengetepikan sepak terjang buruknya. Kesetiaan ini diwujudkan sebagai bentuk kecintaan mereka pada pejabat yang telah membantunya, entah itu memberinya jabatan, uang, juga jaminan kehidupan yang layak. Politik cawe-cawe juga tak langka di rangka pemerintahan ini dengan merebaknya fenomena tidak kompetennya jajaran pejabat termasuk kabinet rakitan Presiden.

Patronase adalah dosa pertama yang mampu berada di garda terdepan dalam pemadaman bara demokrasi negara ini. Dimulai dari pejabat yang akan menjalankan program kerja beberapa saat setelah mendapat kursi. Kemudian misi-misi yang mereka canangkan mulai dikikis dan dihilangkan setelah para simpatisan sudah terkumpul dan cukup untuk membela lagaknya nanti. Atau dengan cara yang lebih menguntungkan tanpa "membuang" anggaran kepada rakyat: memberikan sekian banyak uang rakyat pada orang-orang terdekat dan berkuasa untuk berkamuflase membela perangainya.  

Pemilu 2024 juga tercium dipenuhi oleh hasil kawin patronase di Indonesia. Para influencer hingga buzzer bertebaran di ranah dunia maya, menggiring masyarakat untuk memilih salah satu pasangan calon dan banyak di antaranya menjatuhkan pasangan yang lain. Tentu ketika para influencer tidak lagi membawa rakyat pada opini yang netral atau menuntun rakyat untuk berpikir rasional, masyarakat dengan mudah dijerat dalam perangkap pikiran untuk menggoyahkan pilihan awal mereka. Tak khayal banyak akun-akun menyebarkan narasi palsu sepanjang pemilu 2024. Penyebaran berita hoaks menjelang pemilu meningkat tajam seperti yang pernah disampaikan Kompas pada 2 Mei lalu. Hal yang paling mungkin terjadi di belakang para buzzer dan influencer pelaku penyebar berita hoaks ini adalah telah berlangsungnya patronase dan klientelisme yang sesak dengan korupsi dan suap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun