Pahlawan dalam sudut pandang orang yang tertindas memang memberi sedikit ekspektasi. Menawarkan penyelamatan, membantu keluar dari beban permasalahan hidup, bahkan menolong mengubah takdir. Memang hiperbolis, tapi kehadiran sosok pahlawan masih sangat relevan di saat ini. Saat masih kanak-kanak dulu,saya sangat terhibur dengan pahlawan yang menjawab imajinasi lewat tayangan televisi. Hebat. Mereka selalu membela kaum yang lemah, tertindas dan tersingkir. Para pahlawan itu datang sebagai pencerah. Pemberi harapan. Sayangnya para pahlawan itu hanya punya arena pertempuran di dalam comic strip, bentangan seloluid dan layar kaca televisi. Kekuatan yang mereka miliki bersifat klise dan artifisial karena tidak bisa menembus dunia nyata. Anak-anak pun terpuaskan karena belum bisa menganalisa. Manusia laba-laba pun dianggap amazing ketika bergelantungan menggunakan jaring, dan menghajar penjahat yang dikonstruksi selalu kalah. Permasalahan hidup memang datang setiap hari. Itu sebuah hal yang absolut. Itulah mengapa seorang Rene Descartes punya ungkapan populer, I think therefore I am. Aku berpikir maka aku ada. Sebuah ungkapan filosofis dalam mencermati permasalahan hidup. Menuju keadaan untuk menjadi ada memang memerlukan proses berpikir. Selama kita berpikir, kita ada. Ada untuk hidup, dan mencintai kehidupan. Ketika sampai pada fase ini, dimanakah eksistensi pahlawan pembela kebenaran? Kebenaran ada karena kejahatan. Berarti dibutuhkan kejahatan untuk melahirkan pahlawan. Oposisi biner yang klasik dan selalu kontekstual. Di negara yang masih sangat kita cintai ini,kejahatan masih punya tempat untuk beranak pinak secara struktural, kultural dan situasional. Lengkap. Kejahatan kemanusiaan terhadap orang-orang yang dicap sebagai PKI pada periode 1965 merupakan salah satu peristiwa paling berdarah. Pasca penculikan dan pembunuhan para jenderasl TNI Angkatan Darat, PKI diburu dan dibantai secara masif sampai ke akar-akarnya. Sebagai generasi yang lahir pasca orde baru, saya menganggap PKI sebagai penjahat, dan layak dibumihanguskan. Pencitraan di media massa, manuver sejarah, dan konspirasi elit membuat saya mengamini apa yang terjadi seputar tahun 1965 sebagai sebuah kebenaran. Inilah kejahatan struktural, sistematis dan sangat efektif. Kejahatan laten yang dilakukan para penguasa ini sangat sukses. Propaganda melalui media massa sangat ampuh untuk menciptakan penjahat dan superhero. Ingatan kita tentu masih segar ketika menyaksikan film garapan Arifin C. Noer, tentang G 30 S PKI. Walaupun film adalah konstruksi dari realitas dan bukan realitas sebenarnya, daya hipnotis dari cerita, sudut pengambilan gambar, ikon-ikon, dialog dan akting yang sengaja dibikin seolah olah merupakan kebenaran itu sendiri. Bagi saya, pahlawan itu tidak bisa didefinisikan. Pahlawan hanya bisa dideskripsikan, walaupun dengan personifikasi yang sangat sederhana. Setiap orang pasti punya pahlawan. Mulai dari Pandawa Lima yang diimpor dan diadaptasi dari cerita Mahabharata sampai manusia super yang selalu mengenakan sempak merah di luar. Bentangan seluloid memang lebih menarik daripada perkamen usang yang tertulis dalam buku sejarah. Kita sebenarnya punya superhero yang jauh lebih keren dari Che Guevara. Perjalanannya juga lebih dramatis dan membahayakan. Kontribusinya pada kemerdekaan Indonesia kalah mentereng dibandingkan apa yang dilakukan Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Dia adalah Tan Malaka. Pahlawan yang selama ini hilang atau memang sengaja dihilangkan. Ada kesamaan superhero dalam film dengan Tan Malaka, dia selalu menggunakan topeng untuk menyembunyikan identitasnya. Dia punya alter-ego. Ah, menurut saya Tan Malaka layak untuk didokumentasikan dalam bentangan seluloid, dan menjadi superhero yang sangat dicintai anak-anak Indonesia, seperti Spidey yang dikagumi anak-anak di seluruh dunia. Dirgahayu Republikku nicdeny84@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H