Mohon tunggu...
M. Arif Rahman Hakim
M. Arif Rahman Hakim Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Pengajar & Peneliti di IAIN Bengkulu| Mahasiswa PhD dan Peneliti di Universiti Sains Malaysia| Pengajar di English Academy Bengkulu Malaysia| Anggota Sawomateng Studio

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Konsep Kampus Ideal, Prestasi atau "Prestise?"

17 Juni 2017   00:32 Diperbarui: 21 November 2017   13:02 2848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Saat ini seluruh kampus di dunia sedang gembar-gembornya melakukan promosi baik itu untuk sekadar memasarkan hasil riset dosennya, prestasi mahasiswanya, fasilitas kampusnya, prestasi alumninya dan jumlah mahasiswa internasionalnya. Tidak tanggung-tanggung, universitas sekelas Cambridge University, Oxford University, Yale University pun sudah mulai ikut memasarkan berbagai aspek yang terdapat didalamnya. 

Pertanyaannya, fenomena apa yang terjadi? Secara rasional, seharusnya yang melakukan promosi secara gencar adalah kampus yang terbilang masih kecil atau kampus yang terhitung baru, karena di atas kertas dan jika diskalakan, mereka masih butuh mahasiswa dan memperkenalkan institusinya. Namun yang terjadi malah universitas ternama pun saat ini juga merasa ketakutan kalau pamor mereka akan kalah dengan universitas-universitas baru tersebut, mereka takut kehilangan calon mahasiswa potensial yang seharusnya masuk universitas mereka, malah nanti masuk ke unversitas lain. 

Jadi, mereka mengubah strategi yang dulunya menunggu, sekarang menjadi mencari, bukan berarti menurunkan kualitas, tapi dengan melakukan promosi secara gencar dengan skala, dari 50 juta orang target promosi mereka, maka akan ada 10.000 orang potensial yang akan mereka dapatkan dari penyaringan-penyaringan yang dilakukan kampus. 

Akan berbeda hasilnya jika mereka tidak gencar melaksanakan promosi, anggaplah mereka berhasil melakukan promosi pada 5 juta orang dan mereka menargetkan mendapatkan 10.000 mahasiswa baru. Maka akan ada banyak calon mahasiswa potensial yang mereka dapatkan ketika mereka berhasil melakukan promosi besar-besaran di seluruh dunia. Ini belum terhitung dengan dilibatkannya para koslutan pendidikan seperti IDP Education, British Council, dan masih banyak lagi.

Di samping itu, selain melaksanakan promosi dengan gencar, banyak universitas top dunia yang membarengi usaha tersebut dengan peningkatan kualitas dosennya dengan meningkatkan jumlah riset dosennya dan mahasiswa Ph.D nya. Tidak tanggung-tanggung, untuk mahasiswa Ph.D di Australia, akan diberi paling tidak AUD 10.000 (Rp 100.000.000), yang wajib dihabiskan untuk melaksanakan penelitian, conference dan riset di luar negeri. 

Kita belum berbicara mengenai riset dosen dari masing-masing fakultas yang dari segi pembiayaan akan lebih fantastis lagi. Hal ini membuktikan bahwa pentingnya riset bagi dosen dan mahasiswa dalam meningkatkan reputasi kampus internasional. Meluas ke bidang yang lain, seperti fasilitas belajar, akses perpustakaan, sistem pembelajaran, dan lainnya, mereka punya cara masing-masing dalam meningkatkan reputasi dari kampusnya.

Reputasi = Peringkat??

Reputasi dan peringkat seringkali diartikan sama oleh beberapa orang. Ketika saya secara bebas menanyakan kepada masyarakat atau mahasiswa mengenai kampus apa yang terbaik didunia, maka saya mendapatkan jawaban yang berbeda, ada yang akan menjawab Harvard, ada juga yang akan menjawab Oxford, atau Cambridge, atau Al Azhar Cairo. Setiap orang memiliki pandangan dan alasan-alasan yang berbeda dalam menilai kampus yang menjadi terbaik bagi didunia bagi mereka. Itulah yang dinamakan reputasi sebuah kampus. 

Ketika kita meneruskan pertanyaan apa yang menyebabkan mereka menyimpulkan Oxford, Cambridge, Harvard, dan kampus lain menjadi kampus terbaik dunia bagi mereka? Maka kita akan mendapatkan jawaban, karena banyak pejabat negara yang berasal dari alumni kampus tersebut, atau karena saya banyak melihat buku, kamus dan program di komputer yang tertulis atau dihasilkan dari kampus tersebut. 

Ketika kita tarik dari beberapa penjelasan diawal, maka inilah efek nyata dari usaha yang telah dilakukan kampus tersebut selama berabad-abad, untuk menciptakan sebuah reputasi. Oxford sudah ada sejak abad ke 11 M dan merupakan Universitas berbahasa Inggris tertua di dunia. 

Cambridge menyusul setelahnya,didirikan para akademisi Oxford yang kabur karena terjadinya konflik antar akademisi dan masyarakat pada abad 12. Sejak saat itu mereka sudah membangun reputasi kampusnya dengan berbagai cara. Terhitung, sudah 58 peraih nobel berasal dari Oxford University. 

Siapa yang tidak kenal dengan Universitas Al Azhar Cairo, salah satu universitas tertua di dunia, pencetak para Islamic Scholars level tinggi ini sudah ada sejak era Bani Fatimiyyah, abad 9 M. Inilah sebuah reputasi dari perguruan tinggi, yang berafiliasi menjadi sebuah citra dan merasuk pada cara pandang masyarakat dunia.

Lalu bagaimana dengan peringkat?

Pertanyaan saya ke subjek berlanjut pada, “apakah anda pernah mendengar tentang Massachusetts Institute of Technology? atau California Institute of Technology? atau National University of Singapore”? Jawaban yang saya dapatkan adalah, kami belum pernah mendengar nama tersebut. 

Namun tahukah anda, bahwa kampus tersebut merupakan beberapa dari kampus dengan peringkat tertinggi didunia. Bahkan beberapa darinya melebihi peringkat dari Oxford dan Cambridge. Inilah yang dimaksud dengan peringkat kampus. Peringkat ini ditentukan oleh standar penilaian. Beberapa lembaga yang menentukan peringkat dari kampus-kampus didunia beberapa diantaranya adalah THE (The Higher Education), QS World Rank, ARWU dan Webometrics. 

Dari berbagai organisasi tersebut, mereka memiliki standar masing-masing dalam menilai, misalnya dari penelitian, peraih nobel, jumlah mahasiswa internasional, dan lainnya. Maka dari itu hasil yang didapatpun dari beberapa lembaga tersebut bisa berbeda. Dalam menentukan peringkat, beberapa organisasi tidak menyertakan status reputasi kampus tersebut dalam standar penilaian, karena dianggap tidak menentukan sebuah kualitas. 

Hal yang paling urgent dalam sebuah penialian adalah rasio dosen dan jumlah mahasiswa. Ambil sebagai contoh, di Western Sydney University, seorang profesor tidak boleh membimbing lebih dari 10 orang kandidat Master dan program Ph.D bidang by research. Dalam kelaspun, mereka hanya akan memberikan kuliah pada kelas besar (lecture) seminggu 1 kali dan akan ada tutorial class dan dalam 1 kelas tidak lebih dari 15 orang, karena dosen tersebut harus memberikan feedback dan komentar pada seluruh paper yang dibuat mahasiswanya. 

Kembali lagi ke Oxford. Dalam 1 kelas undergraduate, seorang dosen (Doktor/ professor) hanya akan mendapatkan 7 atau 8 orang dalam kelas tutorial yang setiap pertemuannya membuat paper atau tugas, dan dosen tersebut wajib membaca dan memberikan komentar serta feedback terkait dengan paper mahasiswanya.

Bagaimana dengan kondisi kampus kita di Indonesia?

Dalam 1 kelas, seorang dosen akan mendapatkan sekitar kurang lebih 25- 30 mahasiswa. Bahkan ada yang 1 kalasnya terdapat 40 orang mahasiswa. Sekarang pertanyaannya, apakan semua makalah yang dibuat mahasiswanya akan dibaca dan diberikan komentar oleh si dosen, yang rata-rata mempunyai total 8 kelas yang ia naungi (30 orang x 8 = 240 mahasiswa) di luar bimbingan skripsi yang mencapai 25 orang bahkan lebih,dan ada sebagian dosen yang melanjutkan aktifitas mengajar saat weekend di kampus swasta. 

Seluruh kegiatan yang super padat tersebut berefek pada lalainya kebanyakan dosen di Indonesia untuk membuat sebuah riset dan publikasi. Sehingga mindset seorang dosen adalah seorang pengajar. Jika seperti ini faktanya, maka yang membedakan dosendan guru adalah hanya pada tempat mengajar. Hal ini berbanding terbalik dengan mindset dosen di beberapa kampus top yang mengedepankan riset, publikasi, membimbing dan terakhir mengajar. Mungkinakan terlalu jauhketika kita membahas Oxford university, dan akan lebih fair jika kita bandingkan dengan kampus- kampus dinegeri jiran, Malaysia yang faktanya mereka telah sejak lama menggunakan aturan dan standar yang sama dengan kampus-kampus top dunia.

Di IAIN Bengkulu, saya telah mencoba menerapkan program lecture dan tutorial class dengan segala keterbatasan fasilitas akademik yang saya dapatkan yang memang rata-rata terjadi dihampir seluruh kampus di Indonesia. Walaupun hasilnya, saya tetap kerepotan dengan mempersiapkan gedung auditorium pada setiap lecture 1x perbulan (total mahasiswa peserta lecture, tidak kurang dari 120 mahasiswa), lalu ditambah tutorial class yang mana mereka mendapatkan individual project dan group project, dan saya harus memberikan feedback dan komentar untuk 30 orang mahasiswa/kelas dalam 1 semester.

Dengan sistem pendidikan perguruan tinggi yang sudah berlangsung saat ini, apakah kegiatan-kegiatan yang kita laksanakan sebagai dosen akan serta merta menciptakan sebuah reputasi untuk kampus-kampus kita? atau mungkin dapat menaikkan peringkat kampus di peringkat dunia? Apakah dengan sistem ini kita akan bisa menciptakan para peraih nobel atau peneliti handal? Maukah kita memikirkan ulang hal ini? Siapkah kita merubah pola ini demi menciptakan kualitas kampus Indonesia yang bereputasi dan mempunyai peringkat yang layak diperhitungkan ditingkat dunia?? Daripada hanya gembar-gembor menjadi World Class University tanpa ada perubahan dalam membangun reputasi dan perbaikan peringkat. 

Tabik

M. Arif Rahman Hakim

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun