“Sesungguhnya Alloh hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Alloh.” (QS. An Nahl: 115). Ayat Al Quran tersebut menegaskan bahwa daging babi itu haram. Pesan serupa juga terdapat di surat Al Baqarah ayat 173, surat Al Maa’idah ayat 3, dan surat Al An’aam ayat 145.
Banyaknya penegasan dalam Al Quran tentang haramnya daging babi itulah yang membuat tidak adanya dissenting opiniondi kalangan muslim tentang hukum daging babi haram dikonsumsi. Namun fenomena menarik terungkap dari fakta yang dilakukan oleh Hanifah, seorang penjual daging di Rambipuji, Jember. Penjual daging yang dari nama dan tinggalnya saya yakin beragama Islam.
Koran Jawa Pos hari ini (Kamis, 16 Juni 2016), mewartakan Hanifah menjual daging sapi yang dioplos dengan daging celeng (babi hutan). Entah dia bermaksud berjualan daging sapi yang dicampur daging babi, atau dia menjual daging babi yang disamarkan dengan mencampur daging sapi, faktanya ada daging babi di barang jualannya berupa rawonan.
Fakta itu terungkap ketika seorang konsumen rawon menemukan sebutir peluru kaliber 4,5 mm di dalam daging rawong yang dimakannya. Sontak dia curiga bahwa yang dimakannya adalah daging celeng. Karena jenis peluru itu adalah yang sering digunakan berburu celeng.
Terlepas dari siapa yang salah, apakah Hanifah si penjual daging oplosan, si Juari yang mensuplai daging pada Hanifah, atau mungkin seorang pemburu dari Sempolan, Kecamatan Silo yang menjual kepada Juari, biarlah kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang mengungkap dan memutuskan.
Yang menarik untuk dikaji pada berita ini adalah: penjual, supplier, dan yang menyediakan barang, menjual hal yang haram untuk dimakan kepada saudaranya muslim. Dengan kata lain, telah sengaja membuat saudaranya makan hal yang haram, atau bahkan memberi makan hal haram kepada saudaranya. Hanifah, Juari, maupun konsumennya adalah saudara.
Alloh berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 10 yang bunyinya “Sesungguhnya kaum mukminin itu adalah bersaudara.” Nabi Muhammad SAW pun menegaskan dengan sabdanya sebagaimana diriwayatkankan dalam HR. Muslim “Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya”. Ayat dan hadist tersebut merupakan dalil kuat yang menyatakan bahwa sesama muslim itu bersaudara.
Daging celeng itu dibeli Hanifah seharga Rp 60 ribu per kilogram, kemudian dioplos dengan daging sapi (yang harganya lebih mahal) dan dijual dengan harga 85 ribu per kilogram. Artinya keuntungan yang didapat tidak sampai 25 ribu per kilogramnya.
Dalam pengakuannya kepada polisi, Hanifah sudah 2 tahun berjualan daging sapi, tapi baru kali ini mencampurnya dengan daging celeng. Kenapa dia sampai melakukan perbuatan itu? Mungkinkah di masa sulit penjualan daging dengan naiknya harga daging sapi, dia ingin mendapat keuntungan lebih untuk berlebaran nanti. Merayakan hari kemenangan dari penjualan haram.
Bagaimana mungkin seorang muslim menjual barang haram di tempatnya umat islam (mayoritas penduduk Rambipuji, Jember beragama islam) pada bulan suci? Dengan sengaja membuat saudaranya makan daging haram disaat mereka ingin mensucikan diri sebulan penuh.
"Tidak beriman seorang muslim itu sehingga dia mencintai saudaranya seperti mana dia mencintai buat dirinya"(Hadist Riwayat al-Bukhari). Mungkin dia tidak mencintai dirinya sendiri, sehingga berbuat cela kepada saudaranya. Mungkin juga ada fenomena-fenomena serupa dengan muslim penjual daging celeng di bulan suci ini.
Seandainya benar-benar terjadi semangat persaudaraan sesama muslim, persaudaraan sebangsa Indonedia, persaudaraan bernegara Indonesia, tidak akan terjadi kasus celeng “berbulu” sapi, makanan mengadung boraks, dan yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H