Produk yang “dijual” LAZ adalah program penyaluran atau pemberdayaan zakat, infaq shadaqah, dan wakaf ( ziswaf ). Oleh karena itu yang pertama harus dikuasai oleh karyawan LAZ yang akan menjadi brand ambassador adalah pemahaman tentang ziswaf terlebih dahulu. Kalau ada masyarakat yang ingin bertanya tentang ziswaf, maka idealnya yang terpikirkan oleh mereka selain ustadz adalah mereka akan bertanya kepada karyawan LAZ apapun jabatan karyawan LAZ tersebut.
Yang kedua, adalah pemahaman tentang apa itu LAZ dan tentang LAZ dimana ia berada. Misalnya karyawan Rumah Zakat harus tahu apa bedanya Rumah Zakat dengan Dompet Dhuafa misalnya. Yang ketiga, adalah pemahaman tentang dikemanakan dana ziswaf yang dihimpun dari masyarakat oleh LAZ tersebut.
Pemahaman ini seharusnya sampai pada tingkatan amal. Karyawan sebuah LAZ hendaknya menunaikan zakat pribadi atau keluarganya melalui LAZ dimana ia bekerja. Bagaimana mau meyakinkan orang lain kalau karyawan LAZ tersebut tidak yakin terhadap lembaganya sendiri.
2. Manfaat;
Karyawan sebuah LAZ yang dikenal bermanfaat di lingkungannya dapat membuat LAZ tempat ia bekerja ikut dikenal. Oleh karena itu LAZ harus memiliki program pengembangan SDM sampai tingkatan pembentukan karyawan-karyawan yang memiliki manfaat di lingkungan masyarakat tempat tinggal karyawan. Minimal, rasa kepedulian pada lingkungan yang ditumbuhkan. Selebihnya keterampilan yang dapat membuat ia bermanfaat di masyarakat dapat dilatih bertahap.
Minimal, manfaat yang ingin didistribusikan kepada lingkungan selain informasi tentang ziswaf adalah manfaat terkait dengan keberadaannya sebagai bagian dari LAZ. Terutama terkait dengan peran LAZ dalam bidang pemberdayaan atau penyaluran ziswaf. Misalnya karyawan LAZ menjadi rujukan untuk informasi kagiatan-kegiatan LAZ yang dapat diakses oleh masyarakat. Bahkan, karyawan dapat menjadi jembatan komunikasi dengan pemerintah setempat untuk kemudahan dan ketepatan penyaluran ziswaf. Karyawan juga dapat menjadi perantara yang terpercaya bagi para donatur atau muzakki yang ingin menyalurkan ziswafnya melalui LAZ tersebut.
3. Media Sosial;
LAZ perlu membuat social media policy kepada karyawannya. Karyawan tidak usah dilarang ber-media sosial. Justru, karyawan LAZ wajib like dan share artikel dari website LAZ sehingga membentuk viral yang luas. Tentu saja dengan kebijakan yang sudah diatur mengenai media sosial di lingkungan kerja. Karyawan perlu didorong untuk meningkatkan citra positif diri dan lembaganya di media sosial, bukan justru melemahkannya dengan “nyinyir” negatif soal lembaga.
LAZ dapat bekerjasama dengan karyawan untuk membantu memasarkan ziswaf dan pemberdayaannya di media sosial. Misalnya dengan memberikan insentif atas like dan share yang positif dan viral.
4. Proud;
LAZ harus menumbuhkan kebanggaan kepada karyawan sehingga karyawan dapat dengan sukarela menyebarkan syiar ziswaf kepada masyarakat. Kebanggaan ini selanjutnya dapat menimbulkan employer brand atau brand LAZ yang dapat menarik orang-orang potensial untuk bergabung. Dengan demikian selanjutnya LAZ tersebut dapat meningkatkan product brand-nya.