Ia menganggap segala sesuatu yang disampaikan oleh orang lain sebagai sesuatu yang memiliki makna sebenarnya. Ia kurang peka terhadap suasana perasaan orang lain.Â
Misalnya ketika istri menyampaikan agar ia menjadi suami pada umumnya, ia berpikiran secara harfiah mengenai hal tersebut dan kurang menanggapi bagaimana suasana perasaan orang yang menyampaikan tersebut.
Apakah pernyataan tersebut harus direspon secara harfiah atau memberikan respon berupa perasaan, ia masih kurang memahami hal ini. Sehingga kerap kali masalah yang sebenarnya dianggap sebagai hal yang kecil menjadi membesar, hingga muncul rencana untuk mengakhiri pernikahan tersebut.
Setelah beberapa menit, pasien sepertinya masih ingin menyampaikan beberapa keluhannya. Ketika pasien dirasa sudah bisa menyampaikan beban dalam pikirannya, kemudian pasien diajak untuk memilih salah satu permasalahan yang akhir-akhir ini sedang ia rasakan.Â
Ia memilih untuk menyampaikan permasalahan terkait bisnis yang sedang dijalani. bisnis yang dijalani adalah jualan online yang ada fluktuasi naik-turun pembeli.Â
Hal ini kadang membuat suasana perasaan menjadi kurang kondusif, kemudian menjadikan konflik (dalam hal ini istri menjadi sering memprotes perilaku suami). Suami (pasien) diprotes akan banyak hal termasuk diberi tuntutan agar menjadi suami pada umumnya.Â
Pernyataan "menjadi suami pada umumnya" ini akan menjadi sangat luas maknanya, bagi masing-masing orang bisa saja berbeda. Tuntutan tersebut menjadi beban sendiri bagi pasien tersebut. Ia sendiri juga tidak mengerti makna sebenarnya dari "menjadi suami pada umumnya".
Dari cerita di atas, sepertinya kita perlu mempelajari beberapa hal terkait pikiran rasional, pikiran emosi (ada juga campuran diantara keduanya, yaitu pikiran bijaksana).Â
Pikiran rasional dan pikiran emosi ini perlu dibedakan agar tidak menjadi salah mengerti terhadap pesan yang disampaikan oleh orang lain (dalam hal ini pesan dari istri).Â
Mari kita bahas perbedaan diantara keduanya (serta gabungannya).