Pandemi yang dirasakan oleh masyarakat dunia karena Virus Corona membawa dampak yang sangat besar bagi kita semua. Mulai dari adaptasi terhadap pembiasaan baru, hingga perubahan cara dalam melakukan aktivitas sehari-hari.Â
Sebagian besar masyarakat melakukan kegiatan di rumah, belajar, dan beribadah di rumah. Akses kegiatan di luar rumah dibatasi demi menghambat semakin tersebarnya virus tersebut. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya kecemasan dan dapat menyebabkan depresi (Rubin and Weseley, 2020).
Depresi merupakan gangguan suasana hati yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan rasa tidak peduli. Menurut WHO, kematian tertinggi anak muda adalah depresi.Â
Data dari website PDSKJI (Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia) menunjukkan bahwa situasi Pandemi karena COVID-19 ini membuat 64,3% dari 1522 koresponden mengalami cemas dan depresi (www.pdskji.org). Cemas dan depresi tersebut bahkan sudah mulai muncul di usia muda (yang sering kita sebut sebagai generasi Z). Usia muda tersebut berada pada usia 9 hingga 24 tahun.
Tumbuh kembang anak usia muda juga memiliki berbagai kesempatan dan tantangan. Mulai dari perubahan kebiasaan baru sekolah secara daring, banyak tugas sekolah yang harus diselesaikan dengan bimbingan yang minimal, perubahan kondisi pertemanan, pubertas, menjalani usia sekolah, dan banyak hal lain. Beberapa anak dapat melalui masa tersebut dengan lancar, sebagian yang lain mengalami hambatan yang menyebabkan stress atau bahkan depresi.
Gejala depresi dapat dilihat melalui 3 Aspek, yakni aspek afektif, aspek kognitif, dan aspek fisik. Aspek afektif meliputi sedih, kehilangan minat, mudah tersinggung, tidak peduli kondisi lingkungan, tidak bertenaga, tidak bersemangat, kecemasan, dan isolasi sosial. Aspek kognitif berupa perasaan rendah diri, konsentrasi serta daya ingat menurun, perasasaan ragu-ragu, merasa bersalah, keinginan untuk bunuh diri. Aspek fisik berupa gangguan tidur, fatigue, gangguan nafsu makan, gangguan aktivitas.
Kondisi depresi pada Generasi Z sering kali kurang disadari oleh lingkungan, terutama orang tua. Hal tersebut terjadi karena kemampuan anak untuk menyampaikan perasaan masih kurang baik. Sehingga, orang tua perlu mencermati perubahan emosi dan perilaku pada anak. Hampir sama seperti kondisi depresi pada dewasa, depresi pada Generasi Z juga terdiri dari beberapa aspek[YK1] .Â
Aspek kognitif dan afektif seringkali tercampur dalam tingkah laku yang sama, yakni aspek mental. Aspek mental mirip dengan depresi pada dewasa, muncul berupagangguan makan, gangguan tidur, cepat letih, muncul keluhan sakit kepala, dan sakit perut.Â
Aspek mental muncul dalam tingkah laku berupa mudah marah (terutama bila diberi kritikan), merasa sedih dan putus asa, tidak mau atau tidak mampu menyelesaikan tugas sekolah, sering berbohong, kehilangan minat untuk bermain, enggan berinteraksi dengan teman sebaya, sulit konsentrasi, merasa bersalah, merasa tidak berharga, sering gelisah dan cemas, serta memiliki pikiran untuk menyakiti diri sendiri.