Mohon tunggu...
Arif Budi Utomo
Arif Budi Utomo Mohon Tunggu... Konsultan, Trainner, Therapis, Founder MoIS, Pemerhati Kesadaran -

Menyadari kekurangan, menyadari kekosongan, bersiap untuk mengisi. Menuliskannya kembali dari sebelah kanan. Semoga dalam ridho-Nya. Selengkapnya..di \r\n\r\nhttp://pondokcinde.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Melepas dan Menerima

9 Juni 2017   17:30 Diperbarui: 9 Juni 2017   17:38 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan mengajari banyak hal. Termasuk bagaimana manusia mampu belajar melepaskan dan menerima. Dua pengajaran yang begitu sulit dijalani. Menerima takdir dan melepaskan kehendak diri. Disinilah pelajaran kehidupan. Menjauhi keinginan dan menerima yang tak dimaui. Manusia dipaksa untuk menerima takdir apa saja yang menyambanginya. Pembelajaran ilah  yang terus bersiklus selama menapaki perjalanan spiritual ini. Sungguh kehidupan tidak pernah salah mengajari. Semua diperlakukan sama oleh sang guru. Ya, guru manusia adalah ‘Sang Takdir’. Pelajaran yang sama dari satu manusia ke manusia lainnya. Semua dimaksudkan agar manusia mampu menyempurnakan jiwa mereka sendiri.

Takdir mengajarkan semua rahsa,  ya setiap rahsa kemudian dipergilirkan dengan seadil-adilnya. Benci dan cinta, suka dan  duka, kecewa dan bangga, sukses dan gagal, Iba dan sombong, semua menyambangi manusia, bersiklus dalam kesadaran manusia. Mengisi jiwa dan menggenapi pori-pori manusia, disana lengkap dengan sensasi motoriknya. Syaraf kenikmatan menjadi sangat peka terhadap usikan rahsa. Menandai manakah rahsa yang nikmat dan manakah yang tidak. Manusia menyimpan memori perihal rahsa ini, kemudian menjadikan memori ini pengejaran selanjutnya bagi jiwa dan angan. Manusia menginginkan rahsa tersebut datang kembali kepadanya. Rahsa yang nikmat bagi sensasi syaraf dan motorik mereka. Mulailah manusia melakukan pengejaran rahsa ini keseluruh alam semesta.

Bagaimana dengan rahsa cinta? Rahsa berkuasa? Rahsa kaya raya? Disinilah muaranya demi pengejaran ketiga kelompok rahsa inilah manusia kemudian berperang, saling tikam untuk menguasai sumber dari muara ketiga rahsa ini. Demi cinta manusia rela melupakan Tuhanya, demi kuasa manusia rela membunuh lawannya, demi harta manusia rela menghancurkan jatidirinya. Lihatlah kisah kelam anak manusia di sleuruh peradaban di bumi ini. Bacalah dengan hati yang jernih, apakah mereka benar-benar berjuang demi agama? Manakah yang berjuang demi agama dan manakah yang berjuang demi kenikmatan rahsa. Sungguh sulit dibedakan atas diri mereka.

"Ketika perasaan kebenaran berada pada genggaman masing-masing orang tanpa melihat satu sama lain, benarkah itu kebenaran?

Tanpa menyakiti, tapi menyakiti. Tanpa rasa menghina, tapi mencela. Kesadaran pun kau genggam sendiri serasa paling sadar, maka jangan mencela Firaun mengaku tuhan, (tapi) tidak sadarkah banyak manusia berada pada posisi tersebut. Aku melebur dengan pengakuan yang mengaku, silakan itu menjadi suatu petunjuk dalam satu sapuan tuduh. Hanya itu yang akan melelahkanmu. Tuhan berada pada buih lisan, tanpa tahu Tuhan itu sendiri.”

Walohualam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun