Menunggu itu memang menyebalkan. Itulah yang dirasakan orang-orang betapa tidak menyenangkannya dibuat menunggu; apalagi menunggu janji dari seseorang. Menunggu ialah suatu aktivitas yang memicu rasa kesal dalam diri. Mengapa demikian? Karena kita sudah berharap sesuatu itu akan terjadi, tetapi malah ditahan untuk beberapa saat. Memang, sih, jika sebentar mungkin akan baik-baik saja. Tapi, kalau jangka waktunya cukup lama, hal itu akan sia-sia saja.
Itulah yang dirasakan oleh Sasori si pasir merah saat ia masih kanak-kanak. Kala itu, ia dibuat menunggu akan kepulangan kedua orang tuanya pasca perang dunia shinobi. Sedari itu, ia tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua layaknya anak-anak seusianya. Nenek Chiyo yang sejak awal telah mengetahui kematian kedua orang tua Sasori, enggan memberitahu informasi duka tersebut terhadap cucunya. Ia mempunyai argumen tersendiri jika Sasori belum siap untuk menerima kabar duka tersebut diusianya yang masih dini.
Saat seseorang tengah menunggu, kegiatan tersebut cenderung hanya membuang-buang waktu saja. Hal itu dikarenakan kita terlalu tertuju pada apa yang sedang ditunggu sampai tidak mengisi kegiatan-kegiatan yang lain. Sehingga kita menjadi tertanam terhadap kehampaan yang ditimbulkan karena menunggu.
Hal itulah yang dilakukan Nenek Chiyo dalam mengisi kegiatan untuk Sasori dengan mengajarkannya bagaimana mengendalikan boneka/kugutsu dan cara pembuatannya. Hal itu dilakukan agar Sasori tidak terpaku dalam menunggu kepulangan orang tuanya yang hanyalah fana.
Nenek Chiyo dibuat takjub dengan boneka pertama yang dibuat oleh Sasori: boneka kedua orang tuanya. Sasori mencoba menggerakan kedua boneka tersebut dengan posisi memeluk dirinya. Setelah sekian lama, ia merasakan lagi pelukan kedua orang tuanya meski dalam bentuk boneka. Pelukan yang sangat ia dambakan – yang selalu ingin dirasakan seperti anak-anak dilingkungannya.
Namun, pelukan dari boneka tersebut tidak bertahan lama. Kedua boneka tersebut seketika ambruk dihadapan Sasori. Kejadian tersebut mungkin menggambarkan kondisi kematian orang tuanya saat perang dunia shinobi. Tatapan Sasori mulai datar dan kosong seraya telah menyadari jika orang tuanya tidak akan lagi kembali. Karena menunggu, seseorang akan dibuat tidak berdaya. Begitulah yang tengah dirasakan Sasori. Saat itulah orang-orang yang menunggu akan merasakan pain of waiting (sakitnya menunggu).
Setelah merasakan sakitnya menunggu, kita pasti akan lebih waspada dan mencoba untuk menghindari kegiatan tersebut. Karena, manusia secara alamiah akan menghindari segala sesuatu yang membuat sakit atau tidak menyenangkan. Ketidakpuasan karena menunggu dapat memperburuk keadaan.
Menunggu adalah kegiatan yang begitu merugi. Menurut backer (1965), ketika menunggu akan terkait dengan waktu. Pada dasarnya waktu merupakan komoditas yang berharga. Manusia cenderung berusaha membuat keputusan untuk tidak merugikan dirinya; termasuk keputusannya terkait penggunaan waktu yang berharga tersebut (Lecler, Schmidtt, dan Dube: 1995).
Berkaca pada rasa sakit itulah yang membuat Sasori menjadi benci terhadap kata menunggu. “Menunggu dan membuat orang lain menunggu adalah hal yang kubenci”. Itulah kalimat ikonik yang terucap oleh Sasori di serial anime Naruto Shippuden. Ketidakpuasan Sasori akibat menunggu sejalan dengan definisi psychological cost: pengorbanan/pencurahan emosi dari setiap konsumen/orang yang merasakan.
Menunggu tanpa kepastian akan membuat kita merasa sakit dan timbullah perubahan diri dalam ruang lingkup. Itulah yang kita lihat dalam diri Sasori ketika menginjak dewasa. Sasori dianggap sebagai pahlawan karena jasanya sebagai seniman dalam pembuatan boneka di Desa Suna. Meski pekerjaannya yang cepat dan bagus, namun Sasori memiliki sikap yang dingin, cuek, dan hanya fokus dalam pekerjaannya.
Seorang seniman pasti akan melakukan beberapa eksperimen untuk menciptakan karya-karya yang baru dan bermanfaat. Terkadang, eksperimen ekstrim dan di luar nalar bisa saja dilakukan jika seorang seniman memiliki kreativitas yang tinggi dan haus akan sesuatu yang baru. Obsesi yang di luar nalar dan nekat bisa saja menimbulkan sebuah kejahatan. Kejahatan datang dari pelbagai kesempatan. Kesempatan dalam berkaryalah yang dicoba oleh Sasori dalam memulai aksi kejahatannya.
Dengan mengikuti prinsip seninya Plato & Rousseu “seni adalah hasil peniruan alam dengan segala isinya”, Sasori memulai eksperimen boneka gilanya untuk pesanan dari Nenek Chiyo. Karena tidak suka membuat orang lain menunggu, Komushi, yang merupakan penghubung antara Sasori dan Nenek Chiyo, menjadi korban pertama yang sebelumnya telah dijebak dengan tangan tiruan yang diselundupi racun dan menjadikannya boneka pertama yang terbuat dari manusia.
Tidak hanya Komushi, catatan kriminal Sasori pun bertambah dengan menculik dan membunuh Kazekage ketiga dan menjadikannya sebagai boneka favorit dari ribuan boneka manusia yang dimilikinya. Karena itulah Sasori di cap sebagai ninja kriminal beranking S sehingga bergabung dengan Akatsuki.
Melihat kejadian ini, efek dari sakitnya menunggu dan menyadari sendiri realita yang terjadi cukup mengerikan. Andai saja Nenek Chiyo saat itu tidak pandang usia terhadap Sasori dalam menginformasikan berita kematian orang tuanya, hal ini mungkin tidak akan terjadi. Berucaplah dengan jujur dan apa adanya meski itu menyakitkan. Sasori pasti sedih dan patah hati jika diberitahu kabar tersebut, tapi itu hanya sementara. Selebihnya, Sasori bisa saja secara batiniah telah ikhlas dan merelakan kepergian orang tuanya.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di instagram @pnmediaid
Terima kasih. Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H