"Menenun Kepercayaan di Era Digital: Strategi Kepala Daerah Melalui Media Sosial"
Dr. Arif ArdiansyahÂ
Beberapa waktu lalu saya mendapat undangan untuk menguji mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi , sebuah PTS di Sumatra Selatan . Dan kebetulan salah satu yang bakal diuji adalah  bupati terpilih di Sumsel . Dengan topik Komunikasi politik di Era Digital (Studi Kasus Penggunaan Medsos  oleh Kepala Daerah dalam Mendukung Program Kerja). Ini menarik. Karena dalam dunia digital yang terus berkembang, media sosial ibarat sebuah panggung besar di mana setiap kepala daerah adalah aktor utama yang tampil di hadapan jutaan penonton.
Di panggung ini, pesan mereka disampaikan melalui gambar, video, dan kata-kata yang dirangkai seperti benang dalam kain tenun. Setiap unggahan menjadi bagian dari pola yang menggambarkan kepemimpinan, visi, dan komitmen mereka kepada masyarakat. Namun, seperti halnya kain tenun yang rentan kusut jika tidak dijaga, citra positif seorang kepala daerah juga mudah terganggu oleh kabar bohong, ujaran kebencian, atau kurangnya komunikasi yang efektif. Maka dengan  lanskap digital ini, bagaimana para pemimpin daerah dapat menenun kepercayaan dan membangun hubungan yang kokoh dengan masyarakatnya? Jawabannya terletak pada strategi media sosial yang cerdas, transparan, dan penuh makna.
Dengan penetrasi internet yang tinggi di Indonesia---mencapai lebih dari 197 juta pengguna pada tahun 2023 atau sekitar 73,7% dari total populasi---media sosial telah berkembang menjadi sarana komunikasi yang dominan dan strategis bagi kepala daerah untuk menjangkau masyarakat luas. Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube tidak hanya menjadi alat penyebaran informasi, tetapi juga menciptakan interaksi yang lebih langsung dan dinamis antara pemimpin dan warga. Facebook, misalnya, memungkinkan kepala daerah untuk berbagi pembaruan terkait proyek pembangunan melalui foto, video, atau unggahan langsung, sembari menanggapi komentar masyarakat dalam waktu nyata. Instagram, dengan pendekatan visualnya, menjadi ruang bagi kepala daerah untuk membangun kedekatan emosional melalui dokumentasi foto-foto estetik dari kunjungan kerja, acara publik, hingga program sosial. Sementara itu, Twitter memungkinkan komunikasi instan dengan karakter terbatas, yang sering dimanfaatkan untuk menyampaikan pernyataan penting, merespons isu-isu mendesak, atau menyebarkan pengumuman singkat.
Tidak ketinggalan, YouTube menyediakan ruang untuk menyampaikan penjelasan mendalam, seperti rekaman pidato resmi, diskusi interaktif, atau dokumentasi capaian pemerintahan dalam format video panjang. Misalnya, seorang kepala daerah dapat mengunggah video perjalanan pembangunan infrastruktur yang dilengkapi narasi mendetail, yang tidak hanya mengedukasi masyarakat tetapi juga memperlihatkan transparansi dan akuntabilitas. Dengan keunikan dan kelebihan masing-masing, platform-platform ini memungkinkan kepala daerah untuk menjangkau segmen masyarakat yang berbeda, mulai dari generasi muda yang aktif di Instagram hingga komunitas yang lebih luas di Facebook. Kombinasi dari berbagai platform ini menciptakan sebuah ekosistem komunikasi digital yang efektif, di mana kepala daerah dapat tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun hubungan yang lebih erat dan personal dengan masyarakat yang mereka pimpin.
Pendekatan dalam Membentuk Citra Positif
Salah satu strategi utama yang dilakukan kepala daerah dalam membangun citra positif adalah menciptakan personal branding yang kuat melalui konten media sosial yang menarik dan relevan. Sebagai contoh, Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat kala itu, secara konsisten menggunakan akun Instagram dan Twitter-nya untuk berbagi aktivitasnya, mulai dari meresmikan infrastruktur hingga menghadiri acara kebudayaan. Dengan gaya komunikasi yang santai dan diselingi humor, ia berhasil menarik perhatian generasi muda sekaligus memperkuat citra sebagai pemimpin yang modern dan responsif.
Transparansi menjadi elemen penting dalam membangun kepercayaan publik. Kepala daerah yang terbuka mengenai kebijakan publik, program yang sedang dijalankan, hingga tantangan yang dihadapi, cenderung mendapatkan dukungan yang lebih besar dari masyarakat. Anies Baswedan, selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, menggunakan media sosial untuk melaporkan capaian proyek strategis seperti revitalisasi trotoar, pembangunan Jakarta International Stadium, hingga progres MRT. Dengan menyertakan data, foto, dan video, ia memberikan gambaran yang jelas kepada masyarakat mengenai manfaat program tersebut.
Lebih dari itu, media sosial memungkinkan kepala daerah untuk merespons keluhan masyarakat secara langsung. Hal ini dapat meningkatkan rasa puas masyarakat karena mereka merasa aspirasinya didengar dan ditindaklanjuti. Contohnya, Tri Rismaharini, saat menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, menggunakan media sosial untuk menerima pengaduan masyarakat terkait kebersihan, kemacetan, atau fasilitas publik yang rusak. Respons cepatnya terhadap komentar warga di Facebook dan Twitter membangun citra sebagai pemimpin yang peduli dan selalu siap mendengar.
Tantangan dalam Pemanfaatan Media Sosial
Namun, pemanfaatan media sosial oleh kepala daerah tidak luput dari tantangan yang kompleks. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan sumber daya, baik dalam hal waktu maupun tenaga. Kepala daerah sering kali harus membagi perhatian mereka antara tugas-tugas pemerintahan yang mendesak dan pengelolaan media sosial, yang memerlukan konsistensi dalam unggahan dan interaksi. Tidak semua kepala daerah memiliki tim khusus yang terlatih untuk mendukung pengelolaan media sosial, sehingga kualitas dan frekuensi konten sering kali tidak optimal. Selain itu, rendahnya literasi media di kalangan masyarakat menjadi tantangan tersendiri. Banyak warga yang masih mudah terpengaruh oleh informasi palsu (hoaks) yang tersebar di media sosial, yang dapat merusak kepercayaan terhadap pemerintah daerah. Contohnya adalah penyebaran berita bohong terkait proyek pembangunan yang sering kali memicu perdebatan tidak sehat di ruang digital.
Serangan cyberbullying dan ujaran kebencian juga menjadi ancaman serius bagi kepala daerah. Komentar negatif yang bersifat personal atau bahkan fitnah dapat mengganggu mental pemimpin daerah dan mengalihkan fokus dari tugas utama mereka. Misalnya, beberapa kepala daerah menghadapi kritik keras di media sosial atas isu-isu yang sebenarnya di luar kendali mereka, seperti bencana alam atau kegagalan program nasional. Untuk menghadapi tantangan ini, kepala daerah perlu mengembangkan strategi mitigasi, seperti membentuk tim moderasi yang tangguh dan melakukan literasi media kepada masyarakat secara berkelanjutan.
Akhirnya, media sosial telah terbukti menjadi alat yang vital dalam membangun hubungan yang lebih erat antara kepala daerah dan masyarakat. Dengan strategi yang matang, kepala daerah dapat memanfaatkan platform ini untuk memperkuat citra positif, meningkatkan partisipasi publik, dan mempercepat implementasi visi serta misi pemerintahan. Keberhasilan ini membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan perencanaan konten yang strategis, interaksi yang aktif, serta evaluasi berkala terhadap efektivitas komunikasi digital.
Namun, untuk memaksimalkan potensi ini, diperlukan pengelolaan yang lebih cermat. Kepala daerah perlu membentuk tim khusus yang terampil dalam mengelola media sosial, memastikan bahwa konten yang disampaikan konsisten dan berkualitas. Upaya literasi media kepada masyarakat juga menjadi prioritas untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya memilah informasi yang benar. Di sisi lain, kepala daerah harus mampu mengembangkan daya tahan terhadap tekanan berupa cyberbullying atau ujaran kebencian, dengan tetap fokus pada tujuan utama yaitu pelayanan kepada masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI