Mohon tunggu...
arif ardiansyah
arif ardiansyah Mohon Tunggu... Dosen - dosen

Saya suka touring motor untuk mengeksplorasi daerah dan menemukan petualangan baru di setiap perjalanan. Selain itu, saya memiliki minat mendalam sastra, filsafat, dan budaya, yang memperkaya pemahaman saya tentang dunia dan kehidupan. Saya juga suka mengajar, berbagi pengetahuan, dan inspirasi dengan orang lain, menjadikan pengalaman belajar sebagai perjalanan yang bermakna bagi saya dan mahasiswa saya

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Relevansi Karya Pram terhadap Kondisi Indonesia Kontemporer

21 Januari 2025   18:04 Diperbarui: 21 Januari 2025   18:04 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Relevansi Karya Pram terhadap Kondisi Indonesia Kontemporer

Oleh

Arif Ardiansyah

Di balik sunyi yang menyelimuti kamar sempit dengan dinding penuh debu, Pramoedya Ananta Toer menuliskan kisah yang melampaui batas zaman. Ia adalah suara yang tak pernah padam, yang menggema dalam lorong-lorong sempit sejarah, dan merasuk ke dalam jiwa-jiwa yang terusik oleh ketidakadilan. Karyanya tidak hanya bercerita tentang perjuangan manusia melawan kolonialisme, tetapi juga menghadirkan cermin yang memantulkan wajah Indonesia di setiap zaman.

Pram tidak menulis untuk menghibur; ia menulis untuk melawan. Setiap tokohnya adalah serpihan jiwa yang berani menantang kebekuan. Nyai Ontosoroh, dalam "Bumi Manusia," adalah sosok yang menolak tunduk pada takdir yang dirancang oleh sistem kolonial. Ia adalah ibu yang tak hanya melawan untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan anaknya. Sedang Minke, pemuda cerdas dan gelisah, adalah gambaran semangat intelektual yang mencoba menerobos tembok-tembok ketertindasan. Mereka bukan hanya tokoh, tetapi nyawa yang berdenyut dalam realitas kita hari ini.

Karya-karya Pram mengajarkan bahwa keadilan sosial adalah mimpi yang harus diperjuangkan, bukan hanya dipandang dari kejauhan. Dalam konteks Indonesia kontemporer, kesenjangan sosial yang ia gambarkan melalui tokoh-tokohnya tetap hidup dalam wajah-wajah pemulung di bawah bayang-bayang gedung pencakar langit. Di balik senyum yang terpaksa mereka ukir, tersembunyi rasa lelah yang tak kunjung usai, seperti beban yang terus-menerus dipikul tanpa akhir. Gedung-gedung megah itu, dengan kaca-kaca yang memantulkan cahaya matahari, berdiri tegak sebagai monumen ketimpangan, memperlihatkan ironi yang tak tertahankan antara mereka yang memiliki segalanya dan mereka yang tak memiliki apa-apa.

Nyai Ontosoroh yang harus mempertahankan hak atas tanah dan anaknya adalah cerminan perjuangan rakyat kecil yang mencoba bertahan di tengah arus kapitalisme yang tak berbelas kasih. Ia melawan, bukan dengan senjata, tetapi dengan kecerdasan dan keberanian yang melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh masyarakatnya. Dalam setiap langkah yang diambilnya, Nyai mengajarkan bahwa melawan bukan hanya tentang keberanian, tetapi juga tentang keteguhan untuk tidak menyerah pada sistem yang dirancang untuk menundukkan. Dalam kehidupan modern, perjuangan ini tetap hidup, terlihat dalam wajah-wajah para petani yang digusur dari tanah mereka sendiri, dalam jeritan para pekerja yang diperas tenaganya tanpa upah yang layak. Mereka adalah Nyai-Nyai baru, yang terus melawan, sering kali dalam kesunyian yang tidak tercatat oleh sejarah.

Tidak hanya itu, isu ketidakadilan gender yang Pram tuangkan melalui kisah Nyai Ontosoroh menggema hingga hari ini. Di dunia modern, perempuan masih harus berjuang melawan belenggu budaya patriarki yang membatasi ruang gerak mereka. Nyai adalah simbol keberanian, sebuah api kecil yang menyulut semangat perempuan masa kini untuk melawan diskriminasi. "Aku ingin menjadi manusia bebas," katanya, sebuah deklarasi yang terus menggema dalam perlawanan perempuan Indonesia terhadap berbagai bentuk ketidakadilan.

Namun, karya Pram tidak berhenti pada kritik sosial. Ia juga menghadirkan perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim. Dalam "Rumah Kaca," Pram mencatat bagaimana penguasa menggunakan ketakutan untuk mengontrol rakyat. "Ada banyak cara untuk memerintah, tetapi ketakutan adalah yang paling ampuh," tulisnya. Kata-kata ini menjadi peringatan abadi, bahwa meski bentuk kekuasaan telah berubah, bayang-bayang otoritarianisme tetap mengintai. Penguasa yang berwajah modern mungkin tak lagi memegang cambuk di tangan, tetapi mereka memegang kendali melalui aturan-aturan yang mencengkeram, melalui propaganda yang menyusup hingga ke sudut-sudut pikiran. Dalam konteks era digital, ancaman terhadap kebebasan berekspresi melalui regulasi yang mengekang adalah cerminan dari mekanisme lama yang diperbarui. Sensor tidak lagi berbentuk larangan terang-terangan, melainkan dibungkus oleh narasi kepentingan umum, sementara suara-suara yang berani bertanya disisihkan dalam sunyi yang menganga.

Ketakutan bukan hanya alat, tetapi sistem yang dibangun untuk melahirkan kepatuhan. Dalam "Rumah Kaca," Pram menunjukkan bagaimana pengawasan menjadi senjata paling efektif untuk menundukkan jiwa manusia. Seperti cermin yang memantulkan setiap gerakan, kekuasaan menciptakan rasa waspada yang terus-menerus. Dalam dunia saat ini, teknologi menjadi medium baru bagi penguasa untuk mengawasi tanpa terlihat, menciptakan ruang publik yang serupa penjara tanpa jeruji. Data pribadi menjadi mata uang yang diperdagangkan, dan setiap langkah warganegara direkam tanpa sepengetahuan mereka. Era digital, yang menjanjikan kebebasan, malah menjelma menjadi alat baru untuk pengekangan.

Akan tetapi, Pram juga mengajarkan bahwa perlawanan selalu mungkin. Ia menunjukkan bahwa keberanian untuk melawan ketakutan adalah langkah awal menuju kebebasan sejati. Dalam setiap narasi yang ia tulis, ia menanamkan harapan bahwa kendati kekuasaan begitu besar, selalu ada celah untuk melawan. Seperti Minke yang terus menulis meski dunia sekitarnya mencoba membungkamnya, generasi hari ini juga diajak untuk menggunakan pena, suara, dan tindakan mereka sebagai alat perlawanan terhadap penindasan, bagaimanapun bentuknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun