Sebagian pelaku flexing percaya bahwa keberhasilan yang mereka bagikan dapat menginspirasi orang lain untuk berusaha lebih keras. Misalnya, membagikan cerita tentang perjuangan menuju kesuksesan dapat memberikan pelajaran bagi mereka yang tengah menghadapi tantangan serupa.
3.Pengakuan Sosial
Dalam masyarakat yang terhubung melalui media sosial, pengakuan dari orang lain menjadi penting. Flexing sering digunakan untuk menunjukkan bahwa seseorang telah mencapai sesuatu yang layak dihargai, baik itu oleh teman, keluarga, maupun publik yang lebih luas.
Namun, ketika flexing menjadi berlebihan, hal ini sering kali berubah menjadi ajang pembuktian diri yang dangkal, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain.
FLEXING SEBAGAI MANIPULASI SOSIAL
Di sisi lain, flexing sering dianggap sebagai bentuk manipulasi sosial, dimana seseorang mencoba memengaruhi pandangan orang lain tentang diri mereka. Dengan menampilkan citra sempurna, seseorang dapat menciptakan ilusi kehidupan yang sebenarnya jauh dari kenyataan. Fenomena ini semakin berkembang seiring dengan penggunaan media sosial yang mempermudah orang untuk “mengkurasi” kehidupan mereka agar terlihat sempurna di mata publik.
Beberapa alasan mengapa flexing dianggap sebagai manipulasi sosial:
1.Tekanan Sosial
Flexing sering kali menciptakan standar hidup yang tidak realistis. Orang yang melihatnya merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi yang sama, meskipun itu di luar kemampuan mereka. Hal ini terutama dirasakan oleh generasi muda yang rentan terhadap pengaruh media sosial. Contohnya, seseorang yang membagikan momen pembelian barang mahal dapat secara tidak langsung memberikan pesan bahwa hidup hanya dianggap sukses. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam lingkaran konsumtif demi menjaga citra mereka di hadapan publik
2. Pamer Palsu
Tidak sedikit orang yang menggunakan trik untuk menciptakan ilusi kemewahan. Beberapa pelaku flexing mungkin menyewa barang-barang mewah, seperti mobil. Ada juga yang menggunakan aplikasi pengeditan agar foto terlihat lebih menarik. Contoh nyata adalah tren “rental mewah” di mana seseorang menyewa properti mahal hanya untuk keperluan konten media sosial. Hal ini menciptakan kesan palsu tentang kemampuan finansial mereka.