Mohon tunggu...
Arif Albert
Arif Albert Mohon Tunggu... mahasiswa -

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Syair Lagu “Lelaki Kardus” dan Dampak pada Psikologi Anak

4 Juli 2016   22:32 Diperbarui: 4 Juli 2016   22:56 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://lirik-lagu-dunia.blogspot.com

Baru-baru ini, penulis membaca beberapa berita yang tersebar secara viral di internet berkaitan dengan lagu berjudul “ LELAKI KARDUS.” Dari beberapa sumber, disebutkan bahwa munculnya lagu ini berawal dari isu KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Sang suami ingin menikah lagi dan meninggalkan istrinya. Sang anak yang merasa kecewa dengan bapaknya merasa sakit hati.

Syair lagu ini memang kontroversial. Pasalnya, syair-syairnya dipenuhi dengan kata-kata yang tidak pantas dinyanyikan oleh seorang anak. Sang penyanyi, Nova Rizqi Romadhon kala menyanyikan lagu ini berumur 11 tahun  atau saat ini (2016) berumur 15 tahun. Syair lagu yang berkisah tentang kekerasan itu tak pelak menjadi pelajaran bagi orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Demikianlah lirik lagu itu:

Lelaki Kardus (Cipt: Ahmad Sawadi)

Bapakku kawin lagi

Aku ditinggalin

Aku sakit hati

Ibuku diduain

Ibuku minta cerai

Tapi dipukulin

Bapakku pengkhianat

Ibuku dibohongin

Lelaki kardus, Lelaki karpet, Lelaki kecrot, Lelaki bangkrut,

Lelaki mencret, Lelaki karbet, Lelaki bangsat

Bapakku kawin lagi

aku ditinggalin

Aku sakit hati

 ibuku diduain

Ibuku minta cerai

tapi dipukulin

Bapakku pengkhianat

ibuku dibohongin

Lelaki kardus, Lelaki karpet, Lelaki kecrot, Lelaki bangkrut

Lelaki mencret, Lelaki karbet, Lelaki bangsat

*ulangi dari awal

Krisis Pendidikan Moral Anak

Anak-anak memiliki kemampuan menyerap pengaruh lingkungan sekitarnya. Karena itu, entah itu positif atau negatif, pasti akan membekas dalam kehidupannya. Salah satu teori psikolog menjelaskan hal ini. Menurut Kohlberg, perkembangan moral anak terjadi dalam enam tahap atau fase. Enam tahap ini dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat, sehingga tiap tingkat memuat dua tahap. Tiga tingkat itu berturut-turut adalah tingkat prakonvensional, konvensional dan pascakonvensional. Perkembangan moral ini tidak dimulai seperti proses kehidupan manusia. Dalam pandangannya, anak pada awal tahun hidupnya belum mampu untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada anak juga tidak dapat dibedakan apakah suatu tindakan termasuk dalam penilaian/norma moral atau bukan. Dapat dikatakan bahwa sebelum masuk dalam tiga tingkat tersebut, ada periode pramoral. Tidak ada struktur yang jelas di sini. (Mungkin karena itulah) Umur anak yang diteliti oleh Kohlberg adalah 6 tahun.

Berikut akan dipaparkan 3 tingkat dan 6 tahap perkembangan moral pada anak menuju ke arah dewasa menurut Kohlberg:

  • Tingkat Prakonvesional: anak mulai mengakui adanya aturan, baik dan buruk memiliki arti bagi anak sejauh dihubungkan dengan reaksi orang lain. Hukuman dan ganjaran menjadi kekhasan.
  • Tahap 1:Orientasi hukuman dan kepatuhan
  • Anak belajar di bawah otoritas orang tua dan guru. Sejauh ia patuh, anak tidak akan mendapat hukuman. Egosentris. Masih dipenuhi ketakutan bila melanggar aturan karena mendatangkan hukuman.
  • Tahap 2: Orientasi relativis instrumental
  • Hubungan dengan orang lain berdasarkan pada hubungan timbal balik. Tindakan anak berada pada hubungan aku memberi supaya engkau memberi (do ut des).
  • Tingkat Konvensional: menurut Kohlberg, biasanya (tidak selalu) anak beralih dari tingkat prakonvensional ke tingkat konvensional antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Pada tingkat ini, anak mengalami peralihan dan mulai menilai atas dasar norma-norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi. Disebut konvensional, karena anak mulai menyesuaikan (bahasa latin: conveniere) penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain.
  • Tahap 3: Penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis.”
  • Anak melihat bahwa perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak manis mulai berlaku (good boy- nice girl).
  • Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban (law and order).
  • Kelompok dalam kerangka berpikir adalah kelompok akrab. Perilaku yang baik adalah dengan melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial dalam kelompok.
  • Tingkat Pascakonvensional: Menurut Kohlberg, tingkat ini disebut juga sebagai “tingkat otonom” atau ‘tingkat berprinsip” (principled level).Pada tingkat ketiga ini hidup moral dilihat sebagai tanggungjawab yang sesuai dengan prinsip yang dianut dalam batin.
  • Tahap 5: Orientasi kontrak-sosial legalitis.
  • Pada tahap ini, pribadi semakin menyadari adanya relativisme dari sebuah nilai. Baik dan buruknya sebuah cara demokratis tergantung pada nilai dan pendapat pribadi.
  • Tahap 6: Orientasi prinsip etika yang universal.
  • Orang mengatur tingkah laku pada hati nurani. Mulai membedakan prinsip-prinsip yang baik dan benar bagi hidupnya.

Pembelajaran Bagi Kita Semua

Syair lagu LELAKI KARDUS sepantasnya tidak cocok untuk anak-anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sudah tepat dengan bertindak menelusuri jejak-jejak lagu itu berasal. Bahkan, ada beberapa netizen yang berharap dan berupaya agar video itu dihapus dari Youtube. Pendidikan anak tidak mungkin hanya dibebankan kepada pihak sekolah, tetapi juga peran orang tua dinilai tidak tergantikan.

Sang anak pastinya menderita karena kegagalan sang ayah dalam menciptakan keluarga yang harmonis. Kompas.com menulis demikian, “Kondisi sang anak masih mengalami trauma psikis akibat ayahnya yang dinilai tidak bertanggung jawab. Dari informasi sementara yang dihimpun, ayah dari anak tersebut sudah pergi dan saat ini masih menetap di Bali bersama keluarga barunya.”

Perlunya peranan pemerintah melalui KPAI harus terus digalakkan. Pasalnya, anak-anak sangat rentan pengalaman traumatis dan kekerasan yang dialaminya. KPAI juga perlu mencari cara menanggulangi semakin massifnya video-video yang menayangkan tingkah laku anak yang tidak patut, seperti merokok, berkata jorok dan memaki. Bahkan, orang dewasalah yang justru mengajari anak-anak tersebut melakukan hal-hal tersebut.

Mirisnya generasi penerus bangsa ini membuat kita mengelus dada dan bertindak secepatnya. Anak-anak kita harus diselamatkan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun