"Kenapa dengan Farhan Bu?"
"Belakangan ini saya perhatikan Farhan kok seperti tidak ada gairah belajar, kenapa ya Bu?"
"Memang anak saya yang satu ini lemah tidak seperti kakaknya yang perempuan pintar, nilai matematikanya selalu mendapat seratus dan selalu rangking pertama di kelasnya. Kalau belajar tanpa harus disuruh. Kalau Farhan di suruh belajar susahnya bukan main, saya harus teriak--teriak dulu baru dia mau pegang buku."
"Mohon maaf Bu Nina, setiap anak yang dilahirkan tidak ada yang lemah, kurang atau bodoh. Hanya kadang kita orang tua tidak tahu akan potensi yang di miliki anak kita, apabila dia tidak bisa mengerjakan soal-soal suatu mata pelajaran. Alangkah menyakitkan kata-kata itu jika terdengar oleh mereka, padahal jika kita mempelajari kemampuan anak-anak kita ada keistimewaan yang akan kita temukan dalam dirinya. Mungkin Ibu pernah mendengar atau mengetahui cerita Hi Ah Li dari Korea negeri ginseng itu, seorang anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat dan terbelakang dalam sisi motorik namun dirinya bisa menunjukkan bahwa dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh anak-anak normal seusianya. Dia hanya memiliki empat buah jari tetapi dia piawai memainkan piano dengan indahnya. Begitupun dengan Farhan anak Ibu, ada keistimewaan lain yang belum Ibu ketahui. Baiklah jika dia kurang dalam sebuah mata pelajaran seperti Matematika, apakah lantas kemudian kita memberikan dia lebel anak bodoh. Sisi kecerdasan anak tidak bisa diukur dengan nilai sebuah mata pelajaran, tapi bagaimana jika ada kecerdasan lain yang dimiliki oleh Farhan. Oleh karena itu kalau boleh saya memberikan saran, Pertama perlakukan dia sama layaknya dengan kakaknya karena dia butuh pengakuan. Kedua hindari membanding-bandingkan antara dia dengan kakaknya karena itu akan menyakiti perasaannya dan yang ketiga, Selamat..! Farhan putra Ibu Juara 1 Lomba menulis cerpen tingkat nasional yang di selenggarakan oleh Majalah Kreatif bulan lalu." "Subhanallah, apakah itu benar Bu?" Tanya Bu Nina dengan wajah berkaca-kaca. "Benar Bu, anak Ibu itu luar biasa, sambutlah dia dengan suka cita ketika pulang nanti." "Baik Bu." "Assalammualaikum." "Wa'alaikumsalam."
Bel sekolah telah berbunyi, jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Mataharipun sudah berada tepat diatas kepala, dengan pancaran sinarnya yang hampir membakar kulit. Sejenak Farhan mengusap peluh di keningnya pulang dengan membawa tas gendong berwarna hitam, berjalan menyusuri trotoar jalan, sambil membayangkan apa yang akan mamanya katakan jika tahu ulangan matematikanya kembali jelek. Mamanya pasti marah, membandingkannya dengan kakanya dan melabelinya anak bodoh. Setibanya dirumah Farhan langsung membuka pintu dengan perlahan, matanya melirik keseluruh penjuru ruangan berharap Mamanya sedang keluar, jadi dia bisa lolos dari sergapan sang Mama.
"Kenapa tidak mengucapkan salam?" Sergah Bu Nina yang sudah menunggunya di depan pintu masuk. "Ma..maaf Ma, aku pikir tidak ada siapa-siapa di rumah! Jawabnya enteng dan setengah kaget. "Farhan, sudah berapa kali Mama harus katakan, ucapkan salam terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam rumah sekalipun penghuninya tidak ada, karena nanti yang akan menjawab salam kita adalah para malaikat." Terang Bu Nina.
"Baik mah aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Kata Farhan.
"Kenapa kamu terlihat gugup seperti itu?" Tanya Bu Nina.
"Apa ada ulangan hari ini?" sambungnya.
"A...ada Mah?" Jawab Farhan dengan terbata.
"Apa itu matematika? boleh Mama lihat." Pinta Bu Nina. Perlahan dia buka tas gendongnya dan mengambil kertas yang sudah tergulung. Lalu diberikannya kertas ulangan tersebut kepada Ibunya lalu dibukanya.