pendidikan ke jenjang S2, menjadi mimpi saya sejak mulai bekerja sebagai ASN. Di dunia ASN memang banyak ditawarkan beasiswa bagi ASN yang memenuhi kualifikasi untuk meningkatkan kompetensinya melalui jalur tugas belajar yang dibiayai oleh negara. Namun perjuangan untuk mendapat beasiswa ini tidak mudah. Ada proses seleksi yang mesti dilalui, meliputi seleksi administrasi, Tes Potensi Akademik serta TOEFL. Jika sudah lulus seleksi dan mulai kuliah, ASN dituntut bisa memenuhi target waktu menempuh pendidikan yang ditetapkan apabila tidak mau terkena penalti berupa membayar sendiri biaya semester berikutnya. Adapula aturan untuk membayar ganti rugi pada negara, jika sampai kuliah tidak selesai.
MelanjutkanDi pertengahan tahun 2019, akhirnya saya bisa melanjutkan pendidikan S2 dengan beasiswa dari pemerintah. Saya diterima di salah satu universitas negeri di Semarang. Karena saya tinggal di Jogja, maka saya harus mencari kos demi melanjutkan pendidikan. Saya juga diberi target untuk bisa menyelesaikan kuliah S2 dalam waktu 18 bulan saja. Jika lebih dari itu, maka konsekuensinya harus saya tanggung sendiri.
Awalnya semua berjalan lancar. Saya memulai masa perkuliahan di bulan Agustus 2019. Meski jadwal kuliah sangat padat namun saya merasa enjoy menjalani semuanya. Namun semua menjadi berubah secara tiba- tiba. Bulan Maret 2020, virus Covid-19 dari Wuhan itu akhirnya sampai ke Indonesia. Kepanikan terjadi dimana-mana termasuk saya yang kala itu sedang pulang ke Jogja karena libur weekend. Melihat perkembangan yang terjadi, saya memutuskan untuk tidak kembali dulu ke Semarang.
Ternyata feeling saya benar, tak lama kemudian terbit pengumuman bahwa kampus akan ditutup sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan dan semua proses perkuliahan dilakukan secara online. Tak lama kemudian ada pula pengumuman dari sekolah anak saya, bahwa kegiatan pembelajaran juga akan dilakukan secara online dengan batas waktu yang belum pasti. Sejak saat itu kondisi berubah dengan cepat. Kami sekeluarga memutuskan untuk mematuhi peraturan dari pemerintah yaitu tidak keluar rumah jika kondisi tidak benar-benar penting. Namun saya juga mengalami dilema karena teringat dengan target waktu kuliah yang hanya 18 bulan saja.
Kala itu saya merasa bahwa untuk bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu seperti tidak mungkin. Dengan kondisi mobilitas yang terbatas, bagaimana saya bisa bimbingan proposal dengan dosen pembimbing? Bagaimana saya mengakses perpustakaan untuk mencari referensi? Bagaimana saya melakukan penelitian dan pengambilan data? Sementara saya juga masih harus menjadi guru di rumah untuk kedua anak saya yang menjalani pembelajaran online. Yang paling berat adalah bagaimana saya melawan diri sendiri yang saat itu sempat down dan kehilangan semangat untuk menyelesaikan studi lantaran badai pandemi yang tiba-tiba datang tanpa pernah terbayangkan sebelumnya.
Aktivitas Pendidikan Tanpa Batas Bersama IndiHome
Pandemi telah membatasi aktivitas keluarga kami. Selain saya dan anak-anak yang tak bisa ke kampus dan ke sekolah, suami saya juga mendapat instruksi dari kantor untuk melaksanakan Work From Home (WFH) secara bergantian. Saya merasa sangat terbantu manakala suami mendapat jadwal WFH, karena ia bisa membantu saya menghandle anak-anak di rumah agar saya bisa fokus menyelesaikan proposal tesis.
"Ma..kalau situasinya seperti ini, kita pasang IndiHome saja supaya lebih hemat", kata suami suatu pagi saat ia terjadwal WFH. Benar kata suami, sejak pandemi aktivitas kami memang sangat tergantung pada internet. Jika hanya mengandalkan kuota internet dari smartphone memang boros. Makanya kami memutuskan untuk memasang IndiHome di rumah.
Telkom Indonesia dengan mengambil paket New Loyalty Internet 30 Mbps Up Speed. Dengan menggunakan layanan ini, kami mendapatkan akses internet yang lancar sekaligus layanan IPTV UseeTV. Sejak ada IndiHome, kami merasakan berbagai kemudahan yaitu bisa tetap melakukan berbagai kegiatan dan aktivitas tanpa batas cukup dari rumah saja.
Keluarga kami menggunakan layanan IndiHome dariDengan IndiHome saya bisa menyelesaikan materi kuliah secara online. Selain itu saya juga semakin mendapat kemudahaan saat melakukan kegiatan bimbingan proposal tesis dengan dosen pembimbing. Metode bimbingannya melalu konsultasi via Whatsapp, Microsoft Teams dan juga via email.
Dalam menyusun draft proposal tesis, tentu saya membutuhkan banyak referensi. Dulu sebelum pandemi, saya biasanya pergi ke perpustakaan kampus untuk meminjam buku serta mengakses berbagai jurnal untuk membuka wawasan. Untungnya saat pandemi, kampus menyediakan layanan perpustakaan online yang bisa saya akses dari rumah. Selain itu selama pandemi juga tersedia portal jurnal baik nasional maupun internasional yang bisa diakses secara gratis.