Mohon tunggu...
Arifah Asyia
Arifah Asyia Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar/Mahasiswa

I know nothing, that's why I'm learning.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Jalanan Tanggung Jawab Siapa?

11 Desember 2020   16:19 Diperbarui: 11 Desember 2020   16:29 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilansir dari Kompas.com, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan setiap tanggal 20 November sebagai Hari Anak Sedunia. Peringatan Hari Anak Sedunia pertama kali ditetapkan pada tahun 1954 berdasarkan resolusi PBB Nomor 836 (XI) dengan tujuan untuk mempromosikan cita-cita dan tujuan piagam PBB serta bertujuan untuk menyejahterakan anak-anak di dunia. Selain itu juga Hari Anak Sedunia memiliki tujuan untuk memperjuangkan hak setiap anak di dunia. Sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak yang telah disahkan oleh PBB pada tahun 1989 terdapat sepuluh hak yang dimiliki setiap anak, yaitu hak untuk bermain, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan perlindungan, hak mendaptkan identitas, hak mendapatkan status kebangsaan, hak mendapatkan makanan, hak mendapatkan akses kesehatan, hak mendapatkan rekreasi, hak mendapatkan kesamaan, dan hak untuk memiliki peran dan pembangunan. 

Idealnya setiap anak berhak mendapatkan sepuluh hak yang telah ditetapkan oleh PBB. Akan tetapi, pada kenyataanya masih banyak anak yang tidak mendapatkan hak mereka sebagai seorang anak. Malahan mereka harus kehilangan haknya, di antara mereka ada yang harus bekerja demi mendapatkan sesuap nasi serta ada pula anak yang menggantungkan hidupnya di jalanan. Hal itulah yang kemudian disebut dengan anak jalanan. Sebenarnya pengertian mengenai anak jalanan terbagi menjadi dua, yaitu anak yang bekerja di jalanan dan anak yang tinggal di jalanan (de Moura, 2002, dalam Padede, Y. 2008). Sedangkan menurut kementerian sosial, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat umum lainnya.

Anak jalanan kerap mendapatkan stigma buruk dari masyarakat, mereka dianggap meresahkan, dianggap sebagai sampah masyarakat, dianggap mengotori kota, dan stigma negatif lainnya yang kerap disampaikan kepada anak jalanan. Hal ini tentunya akan berakibat pada konsep diri anak jalanan, mereka akan memiliki anggapan seperti stigma negatif yang dilontarkan orang lain. Padahal menjadi seorang anak jalanan bukanlah sebuah keinginan, tetapi kehidupan dan lingkungan sekitar memaska mereka untuk menjadi seorang anak jalanan. Dari sini lah seharusnya timbul pertanyaan, mengapa masih banyak anak yang menjadi anak jalanan? Mengapa saat pembangunan ekonomi dan infrastruktur terus digembar-gemborkan, masalah anak jalanan belum mendapatakan solusi nyata untuk mengurangi hal tersebut? Atau mengapa saat teknologi terus berkembang, tetapi masalah anak jalanan belum juga dapat diatasi?

Di Indonesia anak jalanan dapat dengan mudah ditemukan di berbagai kota besar,tepatnya di tempat-tempat umum, mulai dari lampu merah, emperan toko, dan tempat umum lainnya. Kesulitan ekonomi menjadi faktor utama yang menjadi penyebab meningkatnya anak jalanan di kota-kota besar. Mereka dipaksa dan dituntut untuk membantu menambah pendapatan ekonomi keluarga mereka serta terpaksa kehilangan haknya sebagai seorang anak, yaitu hak untuk bermain dan hak untuk mendapatkan pendidikan. Banyak dari anak jalanan ini terpaksa putus sekolah demi membantu perekonomian keluarga dengan cara mengamen, mengemis, menjadi pedagang asongan, dan pekerjaan lainnya.  

Selain harus bekerja demi membantu menambah  pendapatan ekonomi, anak jalanan pun rentan mendapatkan kekerasan seksual. Menurut wakil ketua KPAI, Rita Pranawati, anak jalanan lebih rentan mendapatkan kekerasan seksual baik secara fisik maupun psikologis dibandingkan anak-anak normal yang tinggal di rumah. Hal itu disebabkan oleh kehidupan anak jalanan yang sangat terbuka, represi, dan kekuasaan dengan orang-orang di sekitar tidak setara. Hal ini lah yang harus menjadi perhatian pemerintah khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hal ini sesuai dengan  apa yang diamanatkan di dalam UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 34 Ayat 1, yang berbunyi : “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Oleh karena itu, anak jalanan perlu mendapatkan fokus perhatian dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Masalah anak jalanan dapat dilihat dari prespektif Teori Struktural Fungsional, yaitu sebuah teori yang berasumsi bahwa setiap struktur sosial dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lainnya (Soetomo, 2008). Masalah sosial dapat diatasi jika setiap sistem di dalam struktur sosial menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga dapat terciptanya suatu kesatuan dan kesinambungan dalam kehidupan bermasyarakat. Masalah anak jalanan dapat diatasi jika setiap sistem di masyarakat saling berhubungan satu sama lainnya. Sistem terkecil di masyarakat adalah keluarga, jika keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka permasalahan mengenai anak jalanan ini dapat diatasi dan dapat dicegah. Banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membantu mengenai masalah anak jalanan. Akan tetapi, program yang diberikan belum menyeluruh dan masih belum maksimal. Hal itu disebabkan oleh belum banyaknya inovasi dan masih banyak program binaan yang tidak berkelanjutan, sehingga banyak anak jalanan kembali ke jalanan. Selain itu, pelayananan yang diberikan pun sekadar pada anak jalanan tidak menyeluruh kepada keluarga mereka. Padahal dalam kebanyakan kasus, anak-anak yang turun ke jalan ini dipaksa oleh keluarga mereka untuk mengantungkan kehidupannya di jalanan. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan anak jalanan ini diperlukan pendekatan menyeluruh yang dimulai dari keluarga para anak jalanan.

Selain melakukan pendekatan menyeluruh kepada keluarga anak jalanan ini, upaya untuk mengatasi permasalah anak jalanan bisa melalui dibangunya Rumah Singgah, Panti Asuhan, Yayasan Perlindungan Sosial Anak, dan program-program lainnya yang dapat membantu anak jalanan kembali mendapatkan hak-hak mereka sebagai seorang anak. Masalah anak jalanan merupakan sebuah masalah sosial yang kompleks, diperlukan dukungan dari berbagai pihak guna menyelesaikan permasalahan sosial ini. Tidak hanya keluarga sebagai sistem terkecil dan paling utama bagi seorang anak, pemerintah sebagai bagian dari sistem sosial memiliki tanggung jawab dalam upaya menyelesaikan permasalahan anak jalanan. Pemerintah melalui Kemensos telah membuat suatu program yang bertujuan untuk mengatasi masalah anak jalanan, yaitu sebuah Program Kesejahteraan Anak (PKSA) yang di dalamnya terdapat Program Kesejahteraan Anak Jalanan (PKS-Anjal) yang dapat digunakan dalam upaya mengatasi permasalahan anak jalanan.  

Dengan demikian, dalam mengatasi permasalahan anak jalanan yang begitu kompleks, tidak hanya mengandalkan satu pihak saja. Akan tetapi, diperlukan kesinambungan serta kesadaran bersama untuk menyelesaikan masalah sosial ini. Masalah anak jalanan menjadi tanggung jawab setiap sistem yang terdapat dalam struktur sosial. Semua sistem tersebut harus mampu melaksanakan fungsinya serta dapat fungsional terhadap sistem lain supaya menghasilkan suatu keberaturan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun